Belajar Batik dan Tenun, Desainer Prancis Ikut Angkat Wastra ke Pasar Global
Ada suasana berbeda di suatu rumah batik di Tegal, Jawa Tengah. Di tengah pekerja yang merupakan warga lokal, sosok perempuan bule ikut sibuk membatik. Kozue Sullerot melakoni semua proses. Mulai dari menggambar pola hingga menggoreskan canting di atas kain.
Di pulau yang berbeda, Priscille Berthaud mencoba membuat tenun khas Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dibantu para ibu penenun, ia belajar mengoperasikan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Priscille dan Kozue merupakan desainer muda asal Paris, Prancis. Kesempatan untuk bekerja dengan perajin Indonesia didapat berkat keikutsertaan mereka di Pintu Residency, program baru Pintu Incubator.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kozue berkolaborasi dengan artisan lokal di Tegal untuk mengembangkan motif batik baru. (Foto: Dok. Pintu Incubator) |
Setelah empat tahun berjalan, Pintu Incubator yang digagas oleh JF3 (Jakarta Fashion & Food Festival), Lakon Indonesia, berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Prancis melalui IFI (Institut franΓ§ais d'IndonΓ©sie) memperkenalkan Pintu Residency sebagai kelanjutan komitmennya untuk mempererat hubungan kreatif dua negara.
Selama tiga bulan mereka 'magang' di Indonesia untuk menciptakan sebuah koleksi dari wastra Indonesia yang mereka kembangkan. "Bersama perajin, saya memproduksi tiga motif batik," tutur Kozue ketika ditemui di sela perhelatan JF3 Fashion Festival 2025 di Summarecon Mall Kelapa Gading pada akhir Juli lalu.
Masih terlalu dini bagiKozue untuk memaparkan lebih jauh tentang kreasinya lantaran belum genap sebulan ia berada di Indonesia. Dalam waktu yang terbilang singkat, desainer dengan fokus tekstil ini harus beradaptasi dengan cepat.
(Foto: Dok. Pintu Incubator) |
"Saya mencoba memadukan batik dengan ciri khasku," ujar Kozue yang menggali inspirasi dari pengalamannya menggarap material tradisional di berbagai belahan dunia seperti Kolombia dan Maroko.
Namun, memastikan koleksi busana siap pakai tersebut dapat diterima dengan baik di pasar lokal maupun internasional menjadi tujuan utama program ini. "Cukup menantang karena pakaian yang saya buat harus bisa dipakai di sini (Indonesia) dan Prancis," ungkap perempuan yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia.
Priscille juga harus mencapai target yang sama. Bukan hal yang mudah menurutnya, tapi ia mengaku sangat menikmati proses kreatifnya bersama para perajin yang didominasi oleh ibu rumah tangga.
Priscille belajar menenun dengan ATBM di Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Foto: Dok. Pintu Incubator) |
"Sungguh menarik melihat mereka bekerja sama. Kesetaraan gender dan emansipasi perempuan selalu menjadi fokusku," ujar Priscille yang juga belajar membuat songket di Lombok.
Meski baru kali ini berkenalan dengan kerajinan tenun dan songket, ia sudah berpengalaman dengan pembuatan kain adat di negara lain. Ketertarikan Priscille pada fashion sebagai produk budaya telah membawanya ke Nepal di mana ia berkenalan dengan proses penenunan kasmir dan sutra.
"Kalau disuruh memilih kain tradisional mana yang paling menarik, masing-masing memiliki keunikannya. Mungkin sepintas kelihatannya sama, tapi kultur dari setiap negara yang memberikan daya tersendiri," terang Priscille.
Ibu-ibu penenun ikut membantu Priscille dalam menyiapkan koleksinya yang akan dipresentasik di Paris pada September mendatang. (Foto: Dok. Pintu Incubator) |
Identitas Kuat, Rasa Internasional
Indonesia begitu kaya dengan warisan budaya yang salah satunya mewujud dalam wastra. Sebuah kearifan lokal yang dapat menguntungkan perajin sendiri.
Di tangan desainer, kreasi mereka dapat bertambah nilainya. Indonesia dengan ratusan juta penduduk tentu merupakan ceruk keuntungan, tapi memasarkan karya hingga ke mancanegara dapat membuka peluang cuan yang lebih besar. Selain nama desainer dan budaya Indonesia yang semakin dikenal, pada akhirnya kehidupan perajin yang kian tersejahterakan.
Meski kain Indonesia sebagai sebuah karya seni sangat diapresiasi, rupanya penerimaan tersebut belum cukup untuk menembus pasar fashion internasional.
"Saya sering mendengar reaksi desainer luar soal koleksi busana Indonesia. Menurut mereka sangat lokal sekali, artinya hanya bisa dipakai di Indonesia," kata Thresia Mareta, pendiri Lakon Indonesia sekaligus salah satu inisiator Pintu Incubator.
Menurutnya, permasalahan terletak pada cara mengeksekusi kain tradisional sesuai dengan selera internasional. Ia merujuk pada karya desainer Belgia Dries Van Noten sebagai contoh sukses penginterpretasian batik yang mengikuti tren global. Namun, itu koleksi ready to wear Spring-Summer 2010 yang dirilis di Paris Fashion Week pada 2009 atau sekitar 16 tahun lalu.
Koleksi Dries Van Noten Spring-Summer 2010 yang menyertakan blus bermotif batik parang di Paris Fashion Week. (Foto: Nathalie Lagneau/Catwalking/Getty Images) |
Thresia pun berharap, kehadiran peserta Pintu Residency dapat memberi perspektif baru yang relevan dengan perubahan zaman untuk membawa kain Indonesia ke panggung internasional, khususnya Paris. Tujuan tersebut selaras dengan tema yang diusung JF3 Fashion Festival 2025, "Recrafted: A New Vision". JF3 memperbarui komitmennya terhadap kreativitas, keahlian, dan keberlanjutan, mendorong para desainer untuk menembus batas, berinovasi dan bertransformasi tanpa kehilangan akar.
Dijuluki sebagai kiblat mode dunia, Paris selalu menjadi acuan dan standarisasi industri ini. Belakangan, pemerintah Prancis sedang berupaya untuk membuat regulasi yang mengatur peredaran fast fashion di negaranya sebagai solusi dari isu lingkungan yang belakangan kian memprihatinkan.
Pendiri Lakon sekaligus salah satu inisiator Pintu Incubator Thresia Maretha, bersama Direktur Γcole DuperrΓ© Paris Alain Soreil, mentor Pintu Incubator Natacha Lalemand, Atase Kebudayaan Kedutaan Prancis untuk RI Charlotte Esnou, dan seniman Mathieu Buard. (Foto: Dok. Pintu Incubator) |
Kain tradisional identik dengan pembuatannya yang ramah lingkungan sehingga situasi tersebut seharusnya dapat dilihat sebagai peluang. "Penting kalau kita mau masuk pasar internasional harus dengan identitas kuat, tapi dengan karya yang bisa diterima," kata Thresia.
Jawaban dari tantangan tersebut akan terlihat ketika karya akhir Priscille dan Kozue dipresentasikan di Premiere Classe Paris, salah satu trade show bergengsi di Paris, yang akan digelar pada akhir September mendatang. Dua peserta Pintu Incubator 2025, Lil Public dan Denimitup, turut berpameran.
"Gaya pakaian di Prancis memang berbeda, tapi sangat memungkinkan batik dapat masuk ke pasar internasional dengan penyesuaian yang tepat," ujar Kozue optimis. Priscille pun senada, "at the end of the day, fashion is a universal language."
Diapresiasi Presiden Macron
Pintu Residency menandai tonggak baru dalam kerja sama budaya Indonesia-Prancis yang terjalin lewat program Pintu Incubator. Sejak 2022, Pintu Incubator menjadi ruang inkubasi yang strategis bagi desainer muda dari Indonesia dan Prancis untuk berkolaborasi.
Dalam pidatonya di Candi Borobudur pada 29 Mei 2025, Macron mengapresiasi Pintu sebagai contoh nyata bagaimana budaya, pendidikan, dan kreativitas bisa menyatukan dua bangsa. Pernyataan tersebut bertepatan dengan perayaan 75 tahun hubungan bilateral Indonesia-Prancis.
Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Emmanuel Macron berpidato di depan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada Mei 2025. (Foto: REUTERS/Yasuyoshi Chiba) |
Program ini menghubungkan para kreator dengan mentor internasional, memberi akses pada ekosistem global, sekaligus merayakan tradisi lokal. Hingga tahun keempat, Pintu telah menjaring lebih dari 10.000 brand yang tertarik, menginkubasi 51 peserta, dan melibatkan 86 mentor ahli, termasuk 33 dari Prancis. Kolaborasi dengan sekolah mode Γcole DuperrΓ© Paris pun mempertegas arah Pintu sebagai jembatan dua budaya mode besar dunia.
Chairman JF3 sekaligus salah satu penggagas Pintu Incubator, Soegianto Nagaria, menegaskan program ini sejalan dengan komitmen panjang JF3 dalam membina industri mode tanah air. "Selama lebih dari dua dekade, JF3 terus mendorong pertumbuhan talenta muda, mengembangkan bisnis fashion, mengangkat perajin dan karya tangan tradisional, serta membuka peluang kolaborasi lintas negara. Konsistensi ini mencerminkan komitmen kami untuk membangun ekosistem yang hidup dan berkelanjutan," ungkapnya.
Di tengah tantangan global, program ini hadir sebagai bukti bahwa fashion tidak hanya soal tren, tetapi juga tentang identitas, kolaborasi, dan masa depan bersama yang inklusif.
(dtg/dtg)
Home & Living
Ravelle Airy Premium Air Purifier HEPA13 + Aromatherapy: Udara Bersih, Mood Tenang, Hidup Lebih Nyaman
Health & Beauty
Wajib Punya! Rekomendasi 3 Sheet Mask Andalan Kulit Lebih Tenang, Lembap, dan Bebas Stress
Fashion
3 Rekomendasi Dompet Kartu Stylish & Fungsional yang Wajib Kamu Punya!
Fashion
3 Padel Bag Stylish & Fungsional yang Bikin Kamu Makin Siap Turun ke Lapangan!
Kain Antik 100 Tahun Jadi Primadona di Koleksi 4 Dekade Adrian Gan Berkarya
Belum Setahun, Desainer Baru Versace Keluar Setelah Prada Resmi Akuisisi
Pantone Umumkan Tren Warna 2026: Cloud Dancer, Warna Putih Jernih
Prada Resmi Akuisisi Rivalnya, Versace, Senilai Rp22,2 Triliun
A$AP Rocky Jadi Brand Ambassador Terbaru Chanel
8 Foto Alyssa Daguise-Al Ghazali Baby Moon di Thailand, Bumil Tampil Stylish
Cita-cita Lisa BLACKPINK Terwujud, Bintangi Film Action Pertama Sejak Debut
TikTok Viral Verificator
Kisah Viral Wanita Bangun Rumah dari Nol, Sekejap Ludes Terbawa Banjir Padang
7 Artis Korea Adu Outfit di Acara LV, Lisa BLACKPINK Hingga Jun Ji Hyun






















































