Intimate Interview
Mengenal Melie Indarto, Pendiri KaIND yang Peduli Petani Sutra Eri
Bermula dari sebuah blusukan dadakan di kampung halamannya, Melie Indarto termotivasi untuk membantu perajin batik dan tenun. Lahirlah KaIND, sebuah inisiasi yang tak cuma melestarikan keindahan wastra Jawa, tapi juga membentuk komunitas pembudidayaan sutra eri yang beretika.
Setelah bertahun-tahun hijrah di Jakarta, Melie diminta kembali oleh keluarga ke kampung halamannya di Pasuruan, Jawa Timur, pada 2015. Orangtua Melie rupanya ingin dia melanjutkan usaha keluarga yang bergerak di bisnis material.
Meski bertolak belakang dari minatnya di dunia fashion, Melie yang sempat bekerja di media fashion saat mengadu nasib di Ibukota, mengiyakan permintaan orangtuanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jam kerja yang lebih longgar membuat perempuan kelahiran September 1989 ini memiliki waktu luang yang lebih banyak. Hingga suatu ketika terbesit di benaknya untuk menyambangi Karangrejo, salah satu desa dekat rumah keluarganya .
"Aku iseng blusukan karena penasaran sama potensi masyarakat di sana," cerita Melie saat ditemui Wolipop di kawasan Grogol, Jakarta Barat, belum lama ini.
Tanpa ditemani siapa-siapa, Melie mengemudikan Avanzanya ke desa tersebut. Seorang ibu yang sedang menenun keset di depan rumah menyita atensinya. Dari ibu itu, diketahui desa tersebut dulu memiliki banyak perajin yang kreasinya diekspor hingga ke Dubai dan Mesir. Namun, perlahan jumlah mereka berkurang karena produknya tak lagi mampu bersaing dengan negara lain.
Melie Indarto mendirikan KaIND setelah melakukan blusukan spontan di kampung halamannya, Pasuruan, Jawa Timur, pada 2015. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom) |
Menurut Melie, sangat disayangkan bila keterampilan mereka disia-siakan. Daripada membuat tenun untuk produk low level seperti keset dan kain pel, pikirnya, kenapa tidak memanfaatkan kemahiran perajin untuk menenun produk fashion yang lebih memiliki nilai tambah.
Namun, satu masalah belum terpecahkan: benang. Selama ini, perajin menggunakan benang berkualitas rendah mengingat produk yang dibuat bukan sebagai pakaian.
Untuk produk fashion, Melie ingin benangnya terbuat dari bahan alami (organik), sehingga menghasilkan tekstur yang lembut dan nyaman dipakai. Tentunya, proses produksi juga ramah lingkungan dan beretika.
Sembari mencari solusi, Melie yang saat ini berdomisili di Jakarta Barat ini memberdayakan beberapa perajin untuk menenun dengan benang katun biasa. Sebelumnya, benang sudah diberi warna dengan teknik pewarnaan alami hasil coba-coba sendiri.
Bermodalkan teknik yang dipelajarinya dari YouTube, ia menghabiskan akhir pekannya hanya untuk meramu bahan-bahan seperti kayu secang dan indigo demi mendapatkan warna yang diinginkan.
"Saat orang rumah santai-santai pas hari Minggu, aku malah sibuk celap-celup. Ibuku sampai bingung. Hahaha," kenang Melie.
Hasil tenunan awal berupa scarf dijual dalam pameran yang digelar di balai desa. Kesempatan tersebut mempertemukan Melie dengan perajin batik yang ternyata juga terpentok masalah kualitas produk, pemasaran, dan penjualan.
Ia pun mengajak mereka untuk berkolaborasi meski sempat ditolak. "Mereka bilang mustahil mencanting batik di atas kain tenun yang bertekstur," kenang Melie.
Perajin batik yang kebanyakan ibu-ibu itu juga dimintanya untuk mencarikan anak-anak muda yang sekiranya bisa diberdayakan untuk menenun dan membatik. Melie nekat' pasang badan' dengan menjanjikan tetap mengupah mereka dari tabungannya sendiri jika kelak karya mereka tidak laku di pasaran.
Dari Bengkel ke 'Peace Silk'
Melie punya prinsip, jika seseorang memiliki niatan baik, alam semesta pasti akan mendukungnya. Ia merasakannya betul setelah hujan yang membuat wiper mobilnya rusak membawa pada sebuah pertemuan tak sengaja dengan petani sutra eri (Samia ricini) di bengkel.
"Step by step, semesta seperti mendampingi," kenang Melie tentang momen tersebut.
Setelah berkenalan dan berdiskusi, Melie diajak untuk berkunjung ke lokasi pembudidayaan sutra eri petani tersebut di Purwodadi. Dari situ, ia mencoba menggali lebih dalam tentang proses pembuatan serat sutra dan sejauh mana potensi material tersebut sebagai produk fashion.
Rupanya, hasil pembudidayaan hanya berupa bahan baku mentah untuk diekspor ke China. "Nggak bisa dibuat jadi scarf Mba Melie. Tidak ada yang bisa pintalnya Mba," ujar Melie meniru perkataan petani kala itu.
Beberapa bulan kemudian, Melie mendapat kabar dari petani tersebut bahwa serat mereka menumpuk lantaran gagal ekspor. Ada peraturan baru Presiden Joko Widodo yang hanya memperbolehkan ekspor sutra dalam bentuk barang siap pakai.
Petani lantas meminta bantuan Melie untuk mencari cara untuk mengolah serat sutra agar tetap terjual. "Akhirnya kami brainstorming, bagaimana bisa menghasilkan serat sutra yang putih bersih, tidak kotor mencoklat seperti biasanya, kehigienisan pembuatan, sampai ke soal upaya pembudidayaan sutra ini ethical," terang Melie.
Infografis sutra eri 'peace silk'. (Foto: Fuad Hasim/Tim Infografis detikcom) |
Ia menjelaskan, pembudidayaan sutra pada umumnya di Indonesia menggunakan praktik merebus kepompong yang masih berisikan pupa. Alih-alih demikian, Melie meyakinkan para petani di Pasuruan untuk membudidayakan dengan cara yang lebih 'manusiawi'.
Sebelum direbus, kepompong digunting satu per satu untuk mengeluarkan pupa yang sudah dalam keadaan dewasa. Dengan begitu, metamorfosis pupa masih terjadi secara penuh. Beruntung petani menyanggupi permintaan Melie.
Teknik tersebut dinamakan Peace Silk. "Karena itu yang dicari pasar sekarang, komitmen dalam melakukan sustainable fashion. Tentu tidak relevan kalau ada hewan yang disakiti dalam proses pembuatannya," ujar Melie yang sempat menimba ilmu desain mode di sebuah sekolah desain di Surabaya.
Ia tak mau asal klaim mereknya sustainable alias greenwashing seperti yang kebanyakan terjadi. Kalau ingin disebut berkelanjutan atau ramah lingkungan, tegas Melie, sejatinya dari hulu ke hilir.
Bagi petani, untuk menghasilkan serat sutra berkualitas sesuai standar mesin pintal fabrikasi, diperlukan serat yang bersih. Untuk mencapainya, harus melalui proses budidaya yang baik dan higienis.
Infografis keunggulan sutra eri 'peace silk'. (Foto: Fuad Hasim/Tim Infografis detikcom) |
Meski Peace Silk sudah terealisasi, pekerjaan rumah Melie dan perajin rupanya belum tuntas. Dengan teksturnya yang sangat delicate atau lembut, sutra eri tak bisa dipintal seperti benang biasanya sehingga mencari rekanan pemintal menjadi tantangan tersendiri bagi Melie.
Ternyata baru diketahuinya bahwa sutra eri harus dikombinasikan dengan serat lain dalam proses pemintalan. "Sejauh ini serat Tencel yang paling cocok," kata Melie.
Setelah beberapa tahun beroperasi dan produknya mulai dikenal lewat berbagai pameran, Melie mulai merasa perlu untuk memiliki merek. Pilihannya lalu jatuh pada KaIND yang dirasanya catchy dan mudah diingat. "Selain itu ada 'IND', bisa dimaknai sebagai kependekan nama belakangku dan Indonesia," katanya.
Motif Khas Pasuruan
Di luar misinya membentuk komunitas petani sutra eri yang mumpuni dan etis, Melie ingin memaksimalkan KaIND sebagai wadah untuk melestarikan warisan budaya. Terkhususnya, batik khas Pasuruan yang belum setenar dengan batik-batik khas Jawa lain seperti Solo atau Yogyakarta.
Inspirasi untuk motif batik KaIND kebanyakan bersumber dari kekayaan dan kekhasan alam Pasuruan, seperti tumbuhan sedap malam (Polianthes tuberosa) dan serunai (Chrysanthemum). "Pasuruan merupakan salah satu kota pemasok sedap malam di Indonesia. Kalau ke sana, kiri-kanannya banyak pertanian sedap malam," tutur Melie.
Tenun Batik KaIND Foto: Daniel Ngantung/Detikcom |
Adapun bunga serunai di Pasuruan berbeda dari daerah lain karena lebih bervariasi warnanya menurut Melie. Motif berbentuk daun sri rejeki (Aglaonema) turut diaplikasikan lantaran masyarakat Pasuruan memercayai menanam tanaman tersebut di rumah dapat mendatangkan rejeki.
Melie juga mengembangkan motif sendiri seperti Pasir Berbisik yang terinspirasi oleh padang pasir di Gunung Bromo. Motif tersebut menjelma dalam bentuk bunga dengan latar taburan bintik-bintik yang menyerupai pasir.
Tidak ketinggalan aksen-aksen yang menyerupai salju, representasi hawa dingin Pasuruan. Kombinasi-kombinasi tersebut serta tampilannya yang minimalis (motif tidak sepenuhnya menghiasi kain) membuat kreasi KaIND terasa lebih modern dan kekinian.
Pada 2017, KaIND berekspansi dari scarf ke ready-to-wear atau busana siap pakai seperti blus, outerwear atau luaran, kemeja, hingga dress. "Sebisa mungkin kami mencoba untuk zero-waste. Jadinya, banyak baju-baju sleeveless (tanpa lengan) karena dibuatnya dari satu scarf yang dilipat," kata ibu satu anak ini.
Tenun Batik KaIND Foto: Daniel Ngantung/Detikcom |
Ia kemudian meluncurkan alas kaki seperti slippers. Jika harga scarf berada di kisaran Rp 200.000 hingga Rp 400.000, pakaian dijual dengan harga di atasnya.
Dari produk fashion, KaIND berkembang lagi dengan peluncuran aksesori rumah seperti sarung bantal dan runners (taplak panjang).
Selain produknya terjual secara online dan lewat berbagai pameran serta pusat belanja (Sarinah dan Sogo Central Park), Melie juga kerap menerima pesanan dari korporasi dan lembaga pemerintahan.
"Baru-baru ini, Kementerian Luar Negeri pesan 60 scarf untuk dikirim ke seluruh duta besar," ungkap Melie yang kini memiliki 60 karyawan.
Di luar pasar di Tanah Air, sejumlah negara juga sudah menjadi tujuan eskpor KaIND. Ada Singapura, Australia, dan Amerika Serikat.
Juara 1 BRILianpreneur 2022
Jatuh-bangun tentu turut mewarnai perjalanan Melie dengan KaIND yang masih berskala UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) ini. Pandemi COVID-19 menjadi cobaan terbesar Melie karena menyebabkan jumlah petani sutra eri berkurang sebagai dampak menurunnya permintaan.
Namun, perlahan ia mencoba bangkit dengan aktif melakukan penggalangan dana bagi para petani. Komitmen Melie pada pembudidayaan sutra eri dan sustainable fashion dengan kearifan lokal yang akhirnya mengantarkannya sebagai juara BRILianpreneur 2022 yang digelar oleh Bank Rakyak Indonesia (BRI).
Para pemenang Pengusaha Muda BRILian (PMB) 2022. Melie berhasil menyabet gelar juara pertama. (Foto: Dok. BRI) |
Ia menyabet gelar pemenang pertama untuk kategori program Pengusaha Muda BRILian (PMB) dan berhak mendapatkan pemodalan sebesar Rp 200 juta. "Benar-benar nggak nyangka sih. Nyatanya pandemi tak menghalangi kita untuk berkarya," ungkap Melie.
Terlepas dari besaran jumlah hibah yang diperoleh, Melie merasa ilmu yang didapat dari para mentor selama pembekalan BRILianpreneur 2022 tak kalah berharga. Strateginya dalam berbisnis semakin terasah setelah mengikuti kegiatan tersebut.
"Aku jadi lebih tahu model bisnis yang tepat buat KaIND. Dulu mungkin lebih B2C (business to consumer), sekarang B2B (business to business)," katanya.
Masukan serta bimbingan dari para mentor semakin memantapkan langkah Melie untuk menjadikan KaIND sebagai perusahaan mode yang memperkenalkan tenun batik sutra sebagai warisan budaya bangsa yang fashionable dan memberi dampak pada dunia dengan tren mode yang berkelanjutan.
(dtg/dtg)
Home & Living
Ravelle Airy Premium Air Purifier HEPA13 + Aromatherapy: Udara Bersih, Mood Tenang, Hidup Lebih Nyaman
Health & Beauty
Wajib Punya! Rekomendasi 3 Sheet Mask Andalan Kulit Lebih Tenang, Lembap, dan Bebas Stress
Fashion
3 Rekomendasi Dompet Kartu Stylish & Fungsional yang Wajib Kamu Punya!
Fashion
3 Padel Bag Stylish & Fungsional yang Bikin Kamu Makin Siap Turun ke Lapangan!
Kain Antik 100 Tahun Jadi Primadona di Koleksi 4 Dekade Adrian Gan Berkarya
Belum Setahun, Desainer Baru Versace Keluar Setelah Prada Resmi Akuisisi
Pantone Umumkan Tren Warna 2026: Cloud Dancer, Warna Putih Jernih
Prada Resmi Akuisisi Rivalnya, Versace, Senilai Rp22,2 Triliun
A$AP Rocky Jadi Brand Ambassador Terbaru Chanel
Foto: Gaya Bisnis Jennifer Lopez, Tetap Seksi dengan Blazer Tanpa Bra
8 Foto Alyssa Daguise-Al Ghazali Baby Moon di Thailand, Bumil Tampil Stylish
Foto: Pesona Winter aespa yang Digosipkan Pacaran dengan Jungkook BTS
Studi Ungkap Kencan Online Bikin Wanita Tergoda Operasi Plastik, Ini Alasannya

















































Para pemenang Pengusaha Muda BRILian (PMB) 2022. Melie berhasil menyabet gelar juara pertama. (Foto: Dok. BRI)