Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Intimate Interview

Cerita Lengkap Anak Driver Ojol Kuliah di UK, Belajar di KRL Demi Beasiswa

Daniel Ngantung - wolipop
Rabu, 23 Feb 2022 06:45 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Nisa Sri Wahyuni
Nisa Sri Wahyuni (Foto: Dok. Pribadi)
Jakarta -

Kegigihan untuk belajar diiringi doa orangtua mengantarkan Nisa Sri Wahyuni meraih pendidikan tinggi hingga ke negeri orang. Ia berhasil membuktikan, latar belakang pendidikan orangtuanya yang hanya tamatan SD bukan penghalang baginya untuk berprestasi.

Sosok Nisa mendadak viral setelah perempuan 27 tahun itu berbagi cerita di jejaring karier LinkedIn baru-baru ini tentang pencapaian akademisnya yang mustahil terwujud tanpa dukungan penuh orangtua meski kondisi ekonomi mereka yang serba terbatas. Unggahan tersebut disertai foto dirinya bersama sang ayah yang berjaket ojek online (ojol).

Nisa lahir di Jakarta pada 17 Juni 1995 dari keluarga yang sangat sederhana. Orangtuanya, Sukatno dan Sunarsih, merupakan perantau dari Jawa Timur. Sukatno berasal dari Pacitan, sementara Sunarsih orang Nganjuk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diceritakan Nisa kepada Wolipop baru-baru ini, ketika orangtuanya hijrah ke Jakarta, usia mereka masih sangat belia. Kala itu, ibu dan bapaknya belum saling mengenal sampai akhirnya bertemu dan memutuskan untuk berkeluarga.

"Salah satu harapan Mama dan Bapak jika diberi keturunan, anak-anak harus memiliki pendidikan yang lebih baik dari mereka," ungkap anak tengah dari tiga bersaudari ini.

ADVERTISEMENT
Nisa Sri Wahyuni, anak driver ojol yang sukses kuliah di Inggris dan kerja di WHO.Nisa Sri Wahyuni dan ayahnya yang seorang sopir ojek online. (Foto: Dok. LinkedIn)

Ia pun mengamini harapan orangtuanya itu sebagai sebuah amanah. Apalagi melihat orangtuanya banting tulang demi menyambung hidup sekaligus agar anak-anaknya bisa bersekolah semakin memotivasi Nisa untuk belajar dengan tekun.

Sebelum menjadi supir ojol, Sukatno bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah sekolah swasta selama puluhan tahun. Dulu pada masa awal merantau, ia hanyalah seorang tukang bersih-bersih halaman.

Untuk menambah pemasukan keluarga, Sunarsi pun menjadi asisten rumah tangga (ART) di rumah tempat mereka menumpang. Mereka tinggal di sana sampai Nisa duduk di bangku SMP dan pindah ke rumah kecil yang dibeli dari hasil menabung.

"Saking mereka pedulinya sama pendidikan, Bapak dan Mama cari rumah yang dekat sekolah untuk memudahkan aku belajar," kata Nisa.

Prestasi Nisa mulai terlihat saat SMA. Oleh karena itu, guru BK dan teman-temannya memotivasi dia untuk kuliah di Universitas Indonesia (UI) lewat jalur beasiswa. Orangtuanya pun mendukung.

Alhasil, ia memberanikan diri untuk mendaftar meski sempat ragu karena merasa lemah dalam berbahasa Inggris yang merupakan salah satu syarat mendapat beasiswa. Sadar bahwa mempersiapkan berkas beasiswa memakan biaya yang tak sedikit, ia pun mencari 'modal' dengan berjualan kue di sekolah.

Nisa Sri WahyuniNisa Sri Wahyuni diantar keluarga besarnya untuk menimba ilmu di luar negeri. (Foto: Dok. Pribadi)

"Aku masih ingat banget, aku dan Ibu bikin bola-bola coklat buat dijual di sekolah. Satunya berharga Rp 500. Lumayan bisa laku Rp 50 ribu," kenangnya.

Singkat cerita, beasiswa UI berhasil diraihnya pada 2013 dengan pilihan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Sebenarnya, Nisa ingin kuliah kedokteran tapi niat tersebut harus dikubur karena ada pertimbangan uang praktik yang terlalu mahal.

Meski tak sesuai pilihannya, ia tetap bersyukur dengan memanfaatkan waktu yang ada untuk belajar secara tekun. Sembari kuliah, Nisa juga kerja part-time demi menambah uang jajan.

Nisa Sri WahyuniNisa Sri Wahyuni dan ibunya saat wisuda S1 Universitas Indonesia. (Foto: Dok. Pribadi)

Hari-harinya juga disibukkan dengan penelitian. Ditambah lagi, ia dipercayakan sebagai asisten dosen. Di tengah padatnya kegiatan, Nisa tetap rajin mengikuti berbagai kompetisi, konferensi dan program tukar pelajar internasional yang memberinya pengalaman ke luar negeri untuk kali pertama terlepas dari kemampuan berbahasa Inggris yang menurutnya pas-pasan.

"Aku tipikal orang yang kalau dihadapkan pada masalah, jadinya tertantang untuk mencari solusinya," ujarnya. Walau sibuk di sana-sini, ia berhasil merampungkan studinya hanya dalam kurun 3,5 tahun dan lulus dengan status cum laud pada 2017.

Lulus kuliah, ia sempat bekerja sebagai tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit ketika akhirnya berniat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Kali ini, kampus luar negeri menjadi incarannya, tentu masuk lewat pintu beasiswa.

Nisa paham bahwa kekurangannya dalam berbahasa Inggris bisa menggagalkan impian tersebut. Oleh karena itu, ia secara serius meningkatkan kemampuan tersebut. Pagi-siang, lalu sore-malam, buku panduan berbahasa Inggris selalu dibukanya selagi ada kesempatan.

Nisa Sri WahyuniNisa Sri Wahyuni saat wisuda di London, Inggris. (Foto: Dok. Pribadi)

"Aku memang struggle banget untuk bahasa Inggris. Mau gak mau harus belajar terus. Bahkan saat naik Transjakarta atau KRL menuju tempat kerja, aku tetap buka buku Cambridge untuk belajar," ungkap Nisa.

Ada tujuh program beasiswa yang dilamarnya, tapi tak lolos karena terkendala oleh nilai bahasa Inggris. Nisa sempat ingin menyerah.

"Tahun kedua, aku keterima beasiswa LPDP. Tapi untuk kampusnya sendiri belum. Kalau di London, rata-rata nilai bahasa Inggris itu harus di angka 7 yang masih jauh dari nilaiku sebelumnya," ujar Nisa.

Masih punya waktu beberapa bulan hingga tenggat waktu yang diberikan kampus pilihannya, Imperial College, ia lantas membulatkan tekad untuk memperdalam ilmu bahasa Inggris-nya.

Resign dari kantor, Nisa hijrah ke Yogyakarta untuk belajar di kampung bahasa Inggris selama tiga bulan dengan modal pas-pasan. "Di sana aku belajar dari jam 8 pagi sampai 5 sore, lalu lanjut lagi malamnya. Bahasa Inggris benar-benar struggle utamaku," ceritanya.

Meski sudah berminggu-minggu belajar, kemampuan Nisa dinilai oleh mentornya tak menunjukkan perkembangan. Muncul rasa ingin menyerah karena waktu sudah mepet. "Sempat hopeless, aku sampai nangis di sebuah masjid," kata Nisa yang sangat merasa patah arang kala itu. Ibunya pun menyusul untuk mengibur Nisa.

Namun dengan dukungan orangtua dan semangat berjuangnya, ia terus mencoba sampai akhirnya diterima masuk di Imperial College London untuk studi S2 dalam bidang epidemiologi.

Bagi Nisa, usaha tak pernah mengkhianati hasil. "Bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha," katanya.

Sekembalinya dari negeri Ratu Elizabeth II pada 2020, Nisa pulang dengan gelar S2 di bidang epidemiologi dan memboyong sejumlah prestasi. Salah satunya duta MSc Epidemiology, sebuah program kolaborasi UNICEF dengan kampusnya. Ia terpilih dengan seorang rekannya yang berasal dari Inggris.

Kini, Nisa bekerja di sebuah lembaga kesehatan internasional dengan tugas khusus mengawasi teknis program vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Keluarganya tetap hidup sederhana dan ayahnya masih menikmati pekerjaannya sebagai driver ojol.

(dtg/dtg)

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Artikel Terkait
Wolipop Signature
Detiknetwork
Hide Ads