Kebiasaan Edit Foto Selfie Jadi Lebih Cantik Bisa Picu Gangguan Mental

Jakarta -

Seiring dengan semakin populernya foto selfie, aplikasi untuk mempercantik wajah serta menyempurnakan tubuh secara digital pun makin banyak bermunculan. Kini orang bisa dengan bebas mempresentasikan diri mereka di social media dengan tampilan wajah dan tubuh yang jauh lebih menarik dari aslinya.

Kehadiran aplikasi seperti PhotoWonder, BeautyPlus, FaceTune dan Camera360 membuat banyak pengguna social media berlomba-lomba untuk menampilkan versi diri mereka yang lebih cantik dan langsing di dunia maya. Kim Kardashian, disebut-sebut sebagai salah satu selebriti yang ikut memopulerkan manipulasi digital ini sehingga 'mewabah' di kalangan penggemar selfie.

Perilaku mengedit foto selfie agar tampak bagus di profil social media ternyata menimbulkan kekhawatiran di kalangan psikolog. Sarah McMahon, psikolog dari Body Matters Australasia mengatakan bahwa Kim dan sejumlah selebriti lainnya telah membuat kebiasaan edit foto selfie secara ekstrem ini jadi suatu hal yang normal. Padahal bisa berpotensi merusak kepercayaan diri para remaja dan wanita muda.

"Ini membuat setiap orang berpikir kalau mereka tidak punya kesempatan untuk terlihat bagus (di dunia nyata -red). Aplikasi tersebut seolah memberi pesan bahwa selalu ada ruang untuk terlihat lebih bagus dan mereka bisa selalu terlihat kurus," tutur Sarah, seperti dikutip dari News Australia.

Dari pengamatan Sarah selama menjadi psikolog yang menangani pasien dengan gangguan makan dan masalah imej tubuh, mem-posting foto yang sudah di-retouch ke social media merupakan kebiasaan yang sudah cukup umum di kalangan anak muda. Selain wajah, mereka juga melakukan edit pada tubuhnya.

"Ada orang yang membuat seolah ada celah di antara pahanya (thigh gap), padahal kenyataannya tidak. Atau mereka menukar wajahnya di tubuh orang lain," ungkap Sarah.

Yang ditakutkan Sarah, kebiasaan yang diawali dari sekadar iseng ini bisa menjadi sebuah obsesi yang membahayakan. Mulai dari merasa insecure terhadap dirinya sendiri, takut dengan pandangan orang lain sampai yang paling parah, memicu bunuh diri. Keinginan untuk selalu diperhatikan atau mendapat pujian dari teman-teman di social media bisa memicu gangguan mental mulai dari yang ringan sampai akut.

Sarah juga menambahkan, kesempurnaan di dunia digital bisa membuat para pelaku selfie merasakan kekhawatiran yang tidak beralasan. Mereka takut ketika mem-posting gambar asli tanpa editan, maka orang-orang tidak akan menyukainya. Lebih parahnya lagi, Sarah seringkali mengamati banyak kasus dimana orang enggan pergi ke pertemuan atau bersosialisasi karena takut orang-orang akan melihat perbedaan antara dirinya di dunia nyata dan maya.

"Secara sosial, mereka tidak berpartisipasi di dunia nyata sama sekali. Semuanya hanya dilihat dari luar. Ada sebuah 'perceraian' dengan realitas yang mengambil alih esensi mereka sebagai manusia menjadi makhluk yang penuh dengan depresi dan kegelisahan terhadap bentuk tubuh mereka," urainya.

Salah satu contoh kasus selfie yang berujung bencana pernah terjadi pada Danny Bowman, remaja 19 tahun asal Inggris. Danny yang kecanduan foto selfie harus masuk ke rumah sakit dan menjalani terapi karena mencoba bunuh diri dengan menelan banyak obat.

Tindakan ekstrem-nya itu dipicu karena Danny merasa tidak ada satu pun foto selfie-nya yang sempurna, padahal ia sudah mengambilnya hingga ratusan kali. Beruntung, percobaan bunuh diri Danny gagal dan ia segera dilarikan ke rumah sakit serta diajak berkonsultasi dengan psikiater.

Danny diketahui mengidap body dysmorphic disorder. Suatu kondisi yang membuat orang merasakan kecemasan yang berlebihan terhadap tampilan fisiknya.

(hst/fer)