Liputan Khusus #KebayaGoesToUNESCO
Melihat Sejarah Kebaya Indonesia, Ada Pengaruh Islam dan Barat
Jumat, 19 Agu 2022 19:30 WIB
Kebaya seperti sudah menjadi identitas perempuan Indonesia. Bukan hanya Jawa, tapi hampir seluruh perempuan di seluruh penjuru Tanah Air memakainya. Jejak kebaya bisa ditelusuri mulai dari pertama kali Islam masuk ke Nusantara.
Kebaya sedang disiapkan untuk menjadi warisan budaya tak benda asli Indonesia di UNESCO. Sebagai bentuk dukungan, muncul tagar Kebaya Goes To UNESCO yang belakangan viral di media sosial.
Pengajuan kebaya awalnya menggunakan jalur multination bersama tiga negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Namun, banyak organisasi pecinta kebaya yang berharap pemerintah Indonesia menominasikan kebaya sebagai warisan budaya asli Indonesia secara mandiri (singlenation) karena banyak bukti sejarah yang menguatkan bahwa kebaya berasal dari Indonesia.
Menurut Dr. Yuliarma, M.Ds, dosen Tata Busana dan Desain Fakultas Pariwisata dan Perhotelan Universitas Negeri Padang, kebaya lahir saat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7.
"Mayoritas masyarakat di pulau Jawa memeluk agama Hindu dan Budha. Pakaian yang dipakai memiliki atasan terbuka, disebutnya baju bungkus. Sampai akhirnya Islam muncul, mereka memakai baju yang tertutup, sebutannya baju panjang," ungkap Yuliarma kepada Wolipop baru-baru ini saat menceritakan cikal-bakal kebaya.
![]() |
Baju tradisional untuk wanita di Sumatra, kata Yuliarma, juga terpengaruh. Siluet baju kurung khas Minangkabau misalnya mengalami penyesuaian dengan tambahan bukaan di bagian depan.
Bukaan di bagian depan yang akhirnya menjadi pakem kebaya. "Selain itu, kebaya juga harus memiliki lengan, panjang atau pendek," tambah Yuliarma yang membuat disertasi tentang desain bordiran Minangkabau.
Model kebaya terus berevolusi mengikuti dinamika budaya dan sosial. Setelah kelahiran kebaya yang dipengaruhi Islam, kolonialisme bangsa Eropa membawa pengaruh baru terhadap cara berkebaya wanita di Indonesia, khususnya Jawa.
![]() |
"(Kebaya Jawa) mengambil ide blus orang Eropa. Makanya kebayanya pendek dan ramping. Sisi kiri dan kanan dirampingkan sehingga sesuai bentuk badan. Sebagai variasi supaya tidak monoton, ditambah selendang," terang Yuliarma.
Blus tersebut berkembang sampai akhirnya kita mengenal kebaya kutubaru, kebaya kartini, dan kebaya encim. Menurut Yuliarma, penyebaran bentuk kebaya Jawa berakhir di kebaya Sunda yang mendapat penambahan kerah dan berbagai macam hiasan di lengan.
Yuliarma juga menyoroti penyebaran kebaya di luar Jawa dan Sumatra. Di Minahasa (Sulawesi Utara) dan Maluku, muncul kebaya noni.
Dengan keunikan estetikanya masing-masing, kebaya memiliki fungsi yang berbeda di setiap daerah. Kebaya bagi masyarakat Minang merupakan penanda seorang wanita telah memasuki masa akil baligh. "Jadi hanya bisa dipakai jika wanita tersebut sudah menikah. Sejumlah masyarakat masih mempertahankan tradisi tersebut," kata Yuliarma.
![]() |
Lain lagi di Jawa. Tempo dulu, anak perempuan sudah dibiasakan memakai kebaya. Kebaya pun menjadi pakaian sehari-hari.
Bicara soal kebaya, tentu berkaitan dengan kain tradisional yang dipadankan sebagai bawahan. Yuliarma mengungkapkan, Ibu Tien pernah berupaya mendeklarasikan kebaya Jawa sebagai pakaian nasional dalam sebuah lokakarya yang digelar pada 1983.
Pada kesempatan tersebut, muncul gagasan aturan baku bahwa kebaya harus berpasangan dengan kain batik Jawa yang diwiron (dilipit bersusun). "Kemudian karena setiap daerah memiliki pakaian yang yang berbeda, diputuskan bahwa semua pakaian daerah adalah pakaian nasional yang sudah disederhanakan. Maka untuk kebaya, bagian bawah bisa diganti sarung, songket atau tenun," papar Yuliarma.
Simak Video "Arti Kebaya di Mata Dian Sastrowardoyo"
[Gambas:Video 20detik]
(dtg/dtg)