Liputan Khusus
Bagai Karya Seni, Batik Sebaiknya Tidak Dijadikan Sembarang Baju
wolipop
Selasa, 27 Nov 2012 08:03 WIB
Jakarta
-
Popularitas batik memang sudah tidak diragukan lagi. Berbagai desainer dunia seperti Dries Van Noten hingga Diane Von Furstenberg pun mengaplikasikannya ke dalam karya mereka. Di dalam negeri, banyak pula desainer yang selalu mendedikasikan karyanya menggunakan batik. Sebut saja Iwan Tirta, Edward Hutabarat, Lenny Agustin hingga Edbe by Eddy Betty. Bagaimana dengan desainer lainnya? Kamipun berbincang dengan
Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia, Taruna Kusmayadi.
Saat ditanya mengapa tidak banyak desainer Indonesia yang mengaplikasikan baik ke dalam karyanya, Taruna menjawab ada banyak faktor. Pertanyaan ini serupa jika ditanyakan, mengapa tidak banyak orang yang mengolah kain batik asli menjadi busana?.
Pertama, ibaratnya karya seni, akan sangat disayangkan jika batik yang begitu indah dan sulit pembuatannya harus dipotong-potong dan menjadi sebagai elemen tambahan saja.
"Itulah sebabnya, banyak wanita yang mengerti dan mengapresiasi batik hanya mengoleksinya. Jika ingin diapakai di badan sebagai wujud mode maka dijadikan stola, selendang maupun sarung," jelas Nuna, panggilan akrab Taruna yang dietmui Wolipop di Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (23/11/2012).
Faktor kedua, masih seputar pertimbangan kain batik saat memasuki proses pengerjaan desain. Nuna menjelaskan bahwa satu motif batik didesain sedemikian rupa oleh pengrajinnya ke dalam ukuran tertentu. Ukuran ini seringkali terbatas untuk dijadikan satu gaun panjang. Jika harus mengalami proses penggabungan dengan lembaran batik lain, akan berbeda motif maupun palet warnanya.
Alhasil jika dijadikan gaun, modelnya terbatas yang lurus dan simpel. "Mengolah batik yang bagus itu kalau setiap corak bisa bertemu satu sama lain saat dipotong, jadi mau tidak mau konsumsi bahannya akan banyak dan akan sulit untuk menemukan yang sama persis," tambahnya.
Faktor ketiga adalah tentang sang desainer itu sendiri. Ia memaparkan, bukan karena tidak cinta produk lokal sehingga desainer yang kerap berkarya menggunakan batik hanya segelintir, melainkan bukan suatu keharusan.
"Bukan enggak mampu atau kurang kreatif, tapi bukan menjadi suatu keharusan untuk desainer untuk mendalami batik," ujarnya.
Menurut Nuna, setiap motif batik memiliki makna dan cerita tersendiri. Oleh karena itu tidak bisa sembarang dipakai ke mana saja dan dipotong semaunya.
Pernyataan ini pun mengingatkan kita akan desainer-desainer mode Jepang yang begitu mendunia. Mereka tidak dikenal sebagai pembuat model kimono atau motif tradisional yang variatif, melainkan desain-desain yang serba avant garde hingga minimalis. Walaupun demikian, kimono tetap berjaya karena eksklusivitasnya dan terekspos dengan sangat baik ke mata dunia.
(fer/hst)
Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia, Taruna Kusmayadi.
Saat ditanya mengapa tidak banyak desainer Indonesia yang mengaplikasikan baik ke dalam karyanya, Taruna menjawab ada banyak faktor. Pertanyaan ini serupa jika ditanyakan, mengapa tidak banyak orang yang mengolah kain batik asli menjadi busana?.
Pertama, ibaratnya karya seni, akan sangat disayangkan jika batik yang begitu indah dan sulit pembuatannya harus dipotong-potong dan menjadi sebagai elemen tambahan saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faktor kedua, masih seputar pertimbangan kain batik saat memasuki proses pengerjaan desain. Nuna menjelaskan bahwa satu motif batik didesain sedemikian rupa oleh pengrajinnya ke dalam ukuran tertentu. Ukuran ini seringkali terbatas untuk dijadikan satu gaun panjang. Jika harus mengalami proses penggabungan dengan lembaran batik lain, akan berbeda motif maupun palet warnanya.
Alhasil jika dijadikan gaun, modelnya terbatas yang lurus dan simpel. "Mengolah batik yang bagus itu kalau setiap corak bisa bertemu satu sama lain saat dipotong, jadi mau tidak mau konsumsi bahannya akan banyak dan akan sulit untuk menemukan yang sama persis," tambahnya.
Faktor ketiga adalah tentang sang desainer itu sendiri. Ia memaparkan, bukan karena tidak cinta produk lokal sehingga desainer yang kerap berkarya menggunakan batik hanya segelintir, melainkan bukan suatu keharusan.
"Bukan enggak mampu atau kurang kreatif, tapi bukan menjadi suatu keharusan untuk desainer untuk mendalami batik," ujarnya.
Menurut Nuna, setiap motif batik memiliki makna dan cerita tersendiri. Oleh karena itu tidak bisa sembarang dipakai ke mana saja dan dipotong semaunya.
Pernyataan ini pun mengingatkan kita akan desainer-desainer mode Jepang yang begitu mendunia. Mereka tidak dikenal sebagai pembuat model kimono atau motif tradisional yang variatif, melainkan desain-desain yang serba avant garde hingga minimalis. Walaupun demikian, kimono tetap berjaya karena eksklusivitasnya dan terekspos dengan sangat baik ke mata dunia.
(fer/hst)
Elektronik & Gadget
Bikin Sejuk Dimanapun Kamu! Intip 3 Rekomendasi Kipas Mini Portable Di Bawah 200 Ribu
Hobbies & Activities
4 Novel Ini Menggugah Rasa dan Pikiran, Layak Dibaca Sekali Seumur Hidup
Elektronik & Gadget
Vivo iQOO 15: Flagship Baru Super Kencang dengan Snapdragon 8 Elite Gen 5 & Layar 144Hz
Elektronik & Gadget
KiiP Wireless EW56: Power Bank Magnetik yang Bikin Hidup Lebih Praktis
Artikel Terkait
ARTIKEL LAINNYA
Putih Jadi Warna 2026, Pantone Dihujani Kritik dan Tuduhan Tonedeaf
Sambut Natal 2025, Coach Hadirkan Evolusi Tabby Bag Bernuansa Quiet Luxury
Bukan Tas atau Sepatu, Hermes Jual Plester Luka Rp 3,2 Juta, Ini Istimewanya
Prada Jual Sandal Made-in-India Rp 15 Juta, Diawali Kontroversi
Season of Elegance, Kolaborasi Metro-MegaFirst Padukan Mode dan Aksi Sosial
Most Popular
1
9 Potret Thalia 'Rosalinda' Tak Menua Bak Vampir, Ini Rahasia Awet Mudanya
2
9 Aktor Drama China Pendek yang Wajah Gantengnya Sering Muncul di HP
3
8 Cara Menyadarkan Teman yang Cinta Buta, Tanpa Merusak Persahabatan
4
Gelar Miss Universe Finland 2025 Dicopot Usai Unggahan Rasis
5
Putih Jadi Warna 2026, Pantone Dihujani Kritik dan Tuduhan Tonedeaf
MOST COMMENTED











































