Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Sejarah Kelam Cincin Tunangan, Dulu Jadi Simbol Kontrak dan Kepatuhan

Hestianingsih Hestianingsih - wolipop
Rabu, 02 Jul 2025 05:00 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Koleksi Cincin Tunangan Brilliant Rose dari Miss Mondial
Cincin tunangan. Foto: Dok. Miss Mondial
Jakarta -

Cincin tunangan dikenal sebagai lambang cinta sejati dan janji untuk sehidup semati, sebelum pasangan melangkah ke pernikahan. Ternyata, ribuan tahun lalu, cincin ini menyimpan sejarah kelam.

Para sejarawan meyakini cincin tunangan pertama kali muncul di Romawi Kuno sekitar tahun 200 SM. Saat itu, cincin bukanlah simbol cinta, melainkan tanda perjanjian hukum atau bukti kepatuhan.

Para wanita di masa Romawi Kuno mengenakan cincin tunangan yang terbuat dari batu api, tulang, gading, perunggu, atau besi. Belum ada kilauan berlian menghiasi jari-jari mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Gemological Institute of America (GIA), saat itu cincin tunangan dipakai untuk menandakan kontrak bisnis atau menegaskan cinta dan kepatuhan seorang perempuan kepada pria. Menariknya, cincin Romawi ini rupanya terinspirasi dari cincin yang dikenakan para Firaun Mesir, yang desainnya mencerminkan bentuk matahari dan bulan-dua elemen yang dipuja dalam kebudayaan Mesir.

Makna cincin tunangan bergeser pada 850 M, ketika Paus Nicholas I menyatakan bahwa cincin tunangan menjadi simbol niat seorang pria untuk menikahi pasangannya.

ADVERTISEMENT

Pada abad ke-16, para wanita yang sudah menikah biasa mengenakan cincin gimmel, yaitu cincin yang terdiri dari dua atau lebih lingkaran yang dapat digabung menjadi satu. Kala itu, pasangan yang bertunangan akan masing-masing mengenakan satu lingkaran, lalu pada saat upacara pertunangan, semua lingkaran cincin digabungkan dan dikenakan sang pengantin wanita sebagai simbol pernikahan.

Menurut Cape Town Diamond Museum, catatan pertama tentang cincin tunangan berlian muncul pada 1477. Saat itu, Archduke Maximilian dari Austria melamar Mary of Burgundy dengan cincin berlian. Namun, meskipun momen ini dianggap sebagai 'kelahiran' cincin tunangan berlian, butuh waktu berabad-abad hingga tradisi ini benar-benar menjadi tren yang meluas di masyarakat.

Ternyata, tidak semua orang menyukai konsep cincin tunangan. Pada pertengahan abad ke-17, kaum Puritan di Inggris menolak penggunaan cincin tunangan. Mereka menganggap cincin sebagai lambang keterikatan pada pihak gereja atau bahkan dianggap tidak religius. Bagi kaum Puritan, mengenakan perhiasan apa pun dianggap sebagai dosa.

Pandangan ini mereka bawa hingga ke Amerika saat masa kolonisasi. Alih-alih memakai cincin tunangan atau cincin kawin, para Puritan justru menggunakan thimble (pelindung jari saat menjahit). Setelah menikah, para pengantin wanita memotong bagian bawah thimble tersebut dan mengenakannya sebagai cincin kawin.

Cincin tunangan kembali populer berkat Ratu Victoria dari Inggris. Meski sempat kehilangan pamor pada paruh akhir milenium, Pangeran Albert dari Saxe-Coburg dan Gotha memberikan Ratu Victoria cincin tunangan yang sangat istimewa pada 1839.

Cincin tersebut berbentuk ular, terbuat dari emas 18 karat, dengan mata dari batu ruby, zamrud hijau besar di bagian tengah (yang juga merupakan batu kelahiran sang ratu), dan mulutnya dihiasi berlian. Bisa dibilang, 'ular' ini sukses memikat hati sang ratu dan masyarakat, hingga akhirnya berperan besar dalam kebangkitan popularitas cincin tunangan sebagai lambang cinta sejati yang kita kenal hingga sekarang.

(hst/hst)


Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Wolipop Signature
Detiknetwork
Hide Ads