Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Pebisnis Bridal Ketar-ketir Hadapi Kenaikan Tarif Impor, Protes ke Donald Trump

Hestianingsih Hestianingsih - wolipop
Rabu, 09 Apr 2025 18:30 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Ilustrasi gaun pengantin
Foto: Getty Images/South_agency
Jakarta -

Bagi banyak calon mempelai wanita, memilih gaun pengantin adalah momen paling penting untuk mewujudkan pernikahan impian. Namun, apa jadinya jika harga gaun yang diidamkan mendadak melambung tinggi karena kebijakan ekonomi pemerintah?

Inilah yang sedang terjadi di Amerika Serikat. Pemerintahan Presiden Donald Trump berencana menaikkan tarif impor untuk produk fashion, termasuk kategori formal wear seperti gaun pengantin, gaun bridesmaid, dan gaun prom. Keputusan ini langsung memicu keresahan besar di industri bridal.

Seperti dilansir Women's Wear Daily, lebih dari 15.000 toko bridal independen dan 300.000 pekerja dalam rantai pasoknya ikut terdampak. Tiga produsen besar bridal pun mengajukan surat keberatan langsung ke Gedung Putih, berharap agar pemerintah memberikan pengecualian tarif untuk produk bridal yang tergolong khusus dan occasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebijakan tarif impor Donald Trump bisa jadi masalah besar bagi pelaku industri bridal. Pasalnya, sekitar 90% gaun pengantin di AS dibuat di negara-negara Asia seperti China, Vietnam, Myanmar, hingga India-tempat yang sudah membangun infrastruktur dan keahlian produksi selama puluhan tahun.

Jika tarif dinaikkan, maka ongkos produksi naik drastis dan pada akhirnya, calon pengantin yang menanggung biaya tambahannya.
Steve Lang, Presiden American Bridal and Prom Industry Association, memperkirakan tarif baru bisa membuat harga gaun naik sekitar 7%.

ADVERTISEMENT

"Untuk sebuah gaun senilai US$2.000, bisa naik US$200 hanya karena tarif," ujarnya.

Padahal, industri bridal sendiri sedang tidak dalam kondisi prima. Jumlah pernikahan di AS menurun akibat berkurangnya angka kelahiran dan makin banyak pasangan yang memilih hidup bersama tanpa menikah.

Di saat seperti ini, tambahan beban tarif justru bisa membuat bisnis makin tertekan. Bahkan, menurutnya, sekitar 20% toko bridal bisa gulung tikar akibat tekanan biaya ini.

Brand seperti Mon Cheri Bridals, Justin Alexander, hingga Anne Barge juga tengah menyusun strategi agar tetap bisa bertahan.

Justin Alexander, misalnya, mencoba menyerap sebagian besar biaya tambahan demi menjaga harga tetap terjangkau. Sedangkan Anne Barge membuka pabrik lokal di Atlanta sebagai langkah jangka panjang mengurangi ketergantungan pada produksi luar negeri.

Namun semua langkah itu butuh waktu. Sementara saat ini, banyak toko mulai mengenakan line-item surcharge-biaya tambahan yang langsung tertulis di invoice pembelian. Artinya, calon pengantin harus menyesuaikan kembali budget mereka untuk gaun impian.

"Industri fashion, terutama pakaian, sudah lama dikenai beban tarif tertinggi dibanding sektor lain," ujar Steve.

"Kalau ini terus berlanjut, banyak usaha kecil yang akan tumbang," tambahnya.

Banyak pelaku industri bridal berharap pemerintah bisa bersikap lebih bijak. "

Tarif seperti ini tak hanya mengganggu rantai pasok, tapi juga merugikan keluarga Amerika yang ingin merayakan momen spesial dalam hidup mereka," ujar Shawne Jacobs, pemilik Anne Barge.

Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya ketergantungan industri pada rantai pasok global. Dari perspektif yang lebih luas, kebijakan tarif bukan hanya isu ekonomi, tapi juga menyentuh kehidupan personal-terutama bagi mereka yang sedang mempersiapkan pernikahan. Karena pada akhirnya, siapa pun ingin tampil sempurna di hari paling bersejarah dalam hidup mereka.

(hst/hst)

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Artikel Terkait
Wolipop Signature
Detiknetwork
Hide Ads