Tenun Menolak Punah di Kota Batik Pekalongan, Jenama Denim Jadi Bukti
Pekalongan, Jawa Tengah, harum namanya sebagai kota batik. Namun ternyata, tenun juga pernah menjadi primadona di kota pesisir utara Jawa itu. Sempat tergerus zaman, kerajinan tenun lokal mulai bangkit lagi, bahkan dikembangkan menjadi denim.
Tangan Rifan lincah 'memainkan' alat tenun bukan mesin (ATBM), Kamis (8/8/2024). Kedua kaki pria 28 tahun itu juga hilir ganti menginjak pedal untuk memastikan benang terjalin sebagaimana mestinya.
"Tak-tak-tak," demikian suara hentakan kayu alat tersebut saat Rifan menenun. Suara tersebut saling bersautan dengan aksi perajin lainnya di dekatnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitulah suasana sehari-hari di sebuah rumah yang berada di Kelurahan Medono, Pekalongan Barat. Sebuah pemandangan yang mungkin mustahil terwujud tanpa andil R. Asyfa Fuadi, pendiri jenama Craft Denim.
Rifan saat menenun di Desa Medono, Pekalongan. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom) |
Ia mengungkapkan, kerajinan tenun sebetulnya bukan sesuatu yang baru di Pekalongan. Keberadaannya bisa ditarik sejak batik juga mulai berkembang dan menjadi komoditas Pekalongan pada zaman Belanda.
Dijelaskan Asyfa, sentra tenun dan batik kala itu sama-sama bertumbuh karena didukung oleh lokasi Pekalongan yang strategis sebagai kota transit antara Jakarta dan Surabaya, Jawa Timur.
Kakek Asyfa termasuk salah satu penenun yang ikut merasakan masa kejayaan industri rumahan tersebut. Kakeknya bahkan pernah dikirim oleh Belanda ke beberapa negara untuk mempelajari pembuatan tenun setelah memenangkan sebuah sayembara.
"Zaman kakek saya banyak sekali penenun diPekalongan. Namun, karena tergerus zaman, banyak kain impor masuk, tenun mulai ditinggalkan," tuturAsyfa kepadaWolipop.
Alat tenun bukan mesin (atbm) yang digunakan untuk memproduksi tenun denim. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom) |
Tenun Pekalongan tidak memiliki karakter spesifik, misal dalam hal motif, seperti daerah lain. Kurangnya identitas tersebut semakin menyebabkan tenun ini kurang berkesan dan mudah terlupakan.
"Tidak ada ciri khusus. Paling warnanya saja yang cenderung pastel, dan motifnya paling cuma kotak-kotak," kata Asyfa.
Penjualan tenun makin merosot, alhasil banyak perajin yang enggan menenun lagi. Mereka bahkan lebih memilih berdagang makanan kecil yang disukai anak-anak di depan sekolah.
Bagi Asyfa, kondisi tersebut sungguh memprihatinkan. Hatinya pun tergugah untuk mengangkat kembali 'martabat' tenun kota asalnya.
(Foto: Daniel Ngantung/detikcom) |
Misi tersebut diseriusi Asyfa dengan menimba ilmu teknik kimia konsentrasi teknologi tekstil di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Dari situ, ia belajar banyak tentang serba-serbi bahan baku tekstil seperti benang hingga teknik pewarnaan alam.
Berbekal ilmu tersebut, Asyfa mencari cara melestarikan tenun dalam pengemasan yang relevan dengan selera pasar. Ia kemudian terinspirasi oleh produk denim yang terbuat dari proses penenunan di Jepang.
Pada 2012, lahirlah Craft Denim yang bermula sebagai vendor denim tenun dengan model bisnis B2B (business to business). Ia membuka pesanan bagi desainer atau jenama yang ingin membuat produk tenun bertekstur denim sesuai ciri khas masing-masing.
"Waktu awal merintis, banyak orang yang ragu. Mereka tanya, emang bisa laku, emang bisa bertahan. Makin sering ditanya begitu, saya malah makin semangat usaha untuk memperpanjang kultur tenun di Pekalongan walau dengan modal pas-pasan," kenangnya.
Usahanya tak mengkhianati hasil. Dengan daya tarik produknya yang unik, ia mulai menerima banyak pesanan. Para pemuda di Desa Medono menjadi tulang punggung produksi. Upaya regenerasi pun terealisasikan.
Tepat pada 2017, usaha Asyfa berekspansi. Setelah lima tahun hanya memproduksi produk pesanan pihak kedua, ia memberanikan diri memberanikan diri untuk menciptakan koleksinya sendiri. Sejak itu, Craft Denim menawarkan pilihan kemeja, jaket, celana jeans, dan tas tote.
Koleksinya sempat memikat Ganjar Pranowo di INACraft 2024. Sebuah Unggahan Craft Denim di Instagram memperlihatkan mantan Gubernur Jawa Tengah yang sempat maju di Pilpres 2024 itu menyambangi booth Craft Denim dan mencoba sebuah kemeja.
"Sebetulnya terlalu kejam kalau bilang tenun Pekalongan punah karena masih ada harapan," kata Asyfa yang kini telah memiliki 43 karyawan termasuk para perajin hingga tim pemasaran.
Alternatif Ramah Lingkungan
Tidak seperti produk pada umumnya, kain denim buatan teknik penenunan tidak melalui proses pencucian berulang kali. Denim hasil industri konvensional kerap dikaitkan dengan masalah lingkungan karena eksploitasi air lebih hingga polusi air karena terkontaminasi bahan-bahan kimiawi berbahaya dari pencucian tersebut.
Asyfa menggunakan pewarnaan alami dari tanaman indigo untuk mendapatkan warna biru denim yang diinginkan. "Sisa-sisa air dari pewarnaan juga masih bisa pakai berulang kali," katanya.
Pencemaran air sebenarnya termasuk permasalahan klasik Pekalongan sebagai dampak dari industri batik yang tidak bertanggung jawab. Sampai-sampai, kata Asyfa, muncul ungkapan yang populer di tengah masyarakat Pekalongan: "Batik terkenal, kali tercermar"
Ia pun berharap, pembudidayaan tenun, khususnya kain denim, dapat memberi solusi untuk masalah tersebut. Para insan kreatif terinspirasi untuk lebih memikirkan efek samping kegiatan produksinya terhadap lingkungan, dan masyarakat juga makin teredukasi dan bijak dalam berpakaian.
Studio Sejauh, sebuah ruang kolaborasi besutan Sejauh Mata Memandang yang berlokasi di Desa Medono, Pekalongan. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom) |
Kepedulian tersebut yang kemudian mempertemukan Asyfa dengan Chitra Subyakto, pendiri sekaligus direktur kreatif Sejauh Mata Memandang, beberapa bulan lalu.
Kagum dengan misi dan visi Asyfa, Chitra menggandeng Craft Denim sebagai salah satu kolaborator Studio Sejauh.
Studio Sejauh bukan lini baru, melainkan sebuah wadah untuk mempertemukan para insan kreatif dengan para pelaku industri sandang (dari artisan, petani, UMKM, komunitas, pelaku bisnis mode hingga masyarakat luas) yang sama-sama memiliki kepedulian pada isu keberlanjutan dan lingkungan.
"Saya sering berdiskusi perancang hingga murid sekolah mode. Ada keinginan dari mereka untuk membuat brand yang lebih bertanggung jawab tapi mereka tidak tahu ke mana mencari mitra yang tepat," ujar Chitra.
Chitra Subyakto, pendiri dan direktur kreatif Sejauh Mata Memandang. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom) |
Meski Craft Denim terbilang sukses dengan produknya sendiri, Asyfa tetap ingin membuka peluang bersinergi demi melestarikan budaya tenun Pekalongan. Sempat ada sebuah merek besar lokal yang ingin membeli Craft Denim, tapi ia menolak tawaran tersebut.
"Alasan lain tenun di sini hampir punah karena susahnya akses orang mau bikin tenun. Jadi bagi siapa saja yang mau berkolaborasi, saya terbuka," ungkap Asyfa.
(dtg/dtg)
Home & Living
Ravelle Airy Premium Air Purifier HEPA13 + Aromatherapy: Udara Bersih, Mood Tenang, Hidup Lebih Nyaman
Health & Beauty
Wajib Punya! Rekomendasi 3 Sheet Mask Andalan Kulit Lebih Tenang, Lembap, dan Bebas Stress
Fashion
3 Rekomendasi Dompet Kartu Stylish & Fungsional yang Wajib Kamu Punya!
Fashion
3 Padel Bag Stylish & Fungsional yang Bikin Kamu Makin Siap Turun ke Lapangan!
Kain Antik 100 Tahun Jadi Primadona di Koleksi 4 Dekade Adrian Gan Berkarya
Belum Setahun, Desainer Baru Versace Keluar Setelah Prada Resmi Akuisisi
Pantone Umumkan Tren Warna 2026: Cloud Dancer, Warna Putih Jernih
Prada Resmi Akuisisi Rivalnya, Versace, Senilai Rp22,2 Triliun
A$AP Rocky Jadi Brand Ambassador Terbaru Chanel
Foto: Gaya Bisnis Jennifer Lopez, Tetap Seksi dengan Blazer Tanpa Bra
8 Foto Alyssa Daguise-Al Ghazali Baby Moon di Thailand, Bumil Tampil Stylish
Foto: Pesona Winter aespa yang Digosipkan Pacaran dengan Jungkook BTS
Studi Ungkap Kencan Online Bikin Wanita Tergoda Operasi Plastik, Ini Alasannya
















































