Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Mengenal Ecoprint, Seni Menata Daun di Atas Kain yang Bikin Cuan dari Rumah

Daniel Ngantung - wolipop
Senin, 19 Jun 2023 15:07 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Eco Print Galeri 37 Tangsel
Proses pembuatan ecoprint di Tangeran Selatan, Banten (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)
Tangerang Selatan -

Nuning Sekarningrum sedang sibuk memotong daun bunga mawar yang tumbuh di halaman rumahnya di kawasan Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Banten. Daun tersebut bukan untuk dibuang, melainkan akan digunakannya sebagai bahan dasar mencetak di atas kain alias ecoprint.

Di teras rumah, Kamila, seorang mahasiswi magang dari sebuah universitas swasta di Bintaro, sedang menyiapkan selembar kain putih ukuran 55 x 180 cm.

Usai mengumpulkan berbagai dedaunan dan kelupasan kulit pohon, Nuning kembali ke teras. Ibu tiga anak ini kemudian mulai menghiasi kain putih dengan hasil 'panen' tadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tidak ada rumusan peletakan daun. Itulah seni. Biasanya buat orang yang punya selera seni, kesalahan menjadi suatu keindahan kan," katanya setengah saat ditemui Wolipop, belum lama ini.

Eco Print Galeri 37 TangselNuning Sekarningrum menata daun di atas kain, dibantu Kamila. Mereka sedang membuat ecoprint. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Daun dari berbagai tumbuhan ia sandingkan satu per satu di atas kain tersebut. Sesekali Nuning menyisipkan bunga sehingga kesan monoton pun terhindar.

ADVERTISEMENT

Kamila ikut membantu dengan arahan dari Nuning. Sembari mengajari Kamila, Nuning menjelaskan soal ecoprint dan bagaimana awal mula perkenalannya dengan teknik membuat pakaian yang digadang-gadang ramah lingkungan itu.

"Ecoprint bukan batik, ini adalah seni meletakkan daun di atas kain," ujar Nuning.

Ia menambahkan, siapa saja bisa membuatnya. Anak-anak sekalipun. Prosesnya terdiri dari lima tahap yang terdiri scouring, mordanting, pencetakan, pengukusan, dan fiksasi mordan.

Eco Print Galeri 37 Tangsel Nuning memotong dedaunan di halaman rumahnya. Daun yang telah dipotong menjadi bahan baku pembuatan ecoprint. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Dalam scouring, kain dibersihkan dulu dengan larutan TRO (turkish red oil) untuk menghilangkan kotoran. Kemudian masuk ke mordanting agar kain dapat meresap warna dari tumbuhan dengan baik.

Pewarnaannya sendiri menggunakan bahan-bahan alami, seperti jelawe dan secang. Meski ada penggunaan material yang bukan berasal dari tumbuhan seperti tawas dan TRO, Nuning mengklaim semuanya aman terhadap lingkungan karena sudah lolos uji Balai Tekstil dan Balai Batik tahun lalu.

Eco Print Galeri 37 TangselPengukusan ecoprint (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Kain penuh tumbuhan tadi kemudian digulung dan dibungkus plastik sebelum akhirnya berlanjut ke proses pengukusan di dalam panci masak. Durasi bergantung pada ketebalan kain. "Kalau tebal bisa sampai dua jam," katanya.

Hasilnya, sebuah scarf yang dihiasi motif dedaunan dan bunga berbagai bentuk. Di tangan Nuning, pengolahan kain ecoprint tak sebatas syal atau semacam. Terdapat pula aksesori seperti tas, topi, dan pakaian seperti outerwear.

Motif Lebih Personal

Ketertarikan Nuning pada ecoprint berawal dari hobinya membuat barang kerajinan tangan. Semasa muda, ia sempat terjun ke dunia olahraga secara profesional sebagai atlet sepakbola pada awal 90-an sebelum akhirnya 'pensiun dini' karena menikah.

Waktu luang pun diisi dengan menggeluti hobi craft. Dari hobi tersebut, ia bahkan bisa membuat penghasilan sendiri. Kreasinya antara lain tudung saji dari anyaman, hiasan kulkas, hingga sarung bantal dan bantal.

Eco Print Galeri 37 TangselNuning dan kreasi dari ecoprint di Galeri 37 yang berada di rumahnya. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Perkenalan Nuning dengan ecoprint sendiri baru terjadi sekitar lima tahun lalu. Salah seorang teman Nuning mengajaknya untuk mencoba ecoprint.

Membuat ecoprint ternyata memberi kepuasan tersendiri bagi Nuning."Satu keunikan ecoprint dari semua produk yang aku buat, tidak ada satupun yang sama. Soalnya, setiap tumbuhan punya ukuran yang berbeda-beda kan," kata Nuning.

Keunikan tersebut lantas menambah nilai ekonomi. Nuning yang tadinya membuat ecoprint hanya untuk iseng, sekarang juga sudah menjualnya. Selembar scarf dihargai sekitar Rp 500.000.

Dari penjualan produk ecoprint, Nuning yang membawa mereknya sendiri yang bernama 'Galeri 37' mengaku pernah mendapat pemasukan hingga ratusan juta rupiah dalam sekali pameran di ajang INACRAFT.

Terlepas dari pundi-pundi yang terkumpul, berbagi ilmu tentang ecoprint dan cara membuatnya justru paling membuat Nuning bahagia.

"Banyak anak kuliahan suka magang di sini, emak-emak sekitaran Tangsel juga suka datang, kami membuat ecoprint bareng-bareng," kata Nuning yang juga tergabung dalam UMKM binaan BRI ini.

Ia pun tak mempermasalahkan bila mereka akhirnya merintis usaha ecoprint juga. "Saya malah senang, ilmu tersebut bisa bermanfaat buat mereka," katanya.

Eco Print Galeri 37 TangselFoto: Daniel Ngantung/detikcom

Kamila yang baru saja memulai program magangnya mengaku sudah lama tertarik ingin mencoba ecoprint. Ia pun mengambil program magang di tempat Nuning sebagai persyaratan kelulusannya dari program studi desain produk.

"Kelihatannya bikinnya gampang tapi agak sulit juga ya. Nggak nyangka prosesnya sepanjang ini," katanya sambil tersenyum.

(dtg/dtg)
Tags

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Artikel Terkait
Wolipop Signature
Detiknetwork
Hide Ads