Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Kampanye 'Local Movement', Sarung Diharapkan Jadi Populer Seperti Batik

Hestianingsih - wolipop
Rabu, 01 Jan 2014 09:34 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Foto: Dok. Wolipop
Jakarta - Sejak diluncurkan pada 2012, Indonesia Fashion Week (IFW) gencar menyosialisasikan sarung sebagai konten lokal yang mengglobal. Tidak hanya untuk dikenakan saat acara khusus seperti perayaan hari raya atau acara adat, tapi juga dikenakan sehari-hari dengan gaya yang lebih modern.

Satu tahun berselang, desainer Irna Mutiara melihat sudah ada pergerakan menuju globalisasi sarung, meskipun untuk saat ini gaungnya belum sebesar batik atau tenun yang sudah lebih dulu diangkat. Saat berbincang dengan Wolipop di sela-sela trip wisata ke Bromo dan Jawa Timur bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan IFW pada 28-31 Desember 2013, sebagai bagian dari rangkaian program 'Let's Talk About Local Movement', desainer busana muslim ini mengatakan efeknya sudah mulai terlihat di level industri.

Sebagai perancang sekaligus pemerhati fashion yang kerap berhubungan dengan pelaku industri tekstil, pemilik label Irna Mutiara La Perla ini melihat produksi dan permintaan sarung meningkat. Jika biasanya produksi sarung dalam jumlah banyak hanya terjadi menjelang idul fitri atau idul adha, kini bisa setiap bulan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita melihatnya bukan dari berapa banyak orang pakai sarung. Saya kan sering ke sentra industri dan pernah suatu saat saya main ke Jawa Barat, Majalaya sekitar 2012. Salah satu penjual sarung Majalaya bilang produksi sarung sekarang meningkat, tidak hanya di bulan Ramadhan atau Idul Adha, tapi tiap bulan sama jumlah produksinya. Berarti dari sisi industri ada peningkatan secara signifikan," ujar Irna kepada Wolipop, Selasa (31/12/2013).

Dampak sosialisasi ini juga 'menular' ke kalangan anak muda. Lewat acara flash mob sarung yang diadakan IFW dan Kemenparekraf di berbagai universitas, anak muda, khususnya mahasiswa pun kini lebih 'sadar' dengan keberadaan sarung. Setelah mengikuti kompetisi mengkreasikan sarung sebagai busana keseharian yang diikuti 200 mahasiswa di Universitas Padjadjaran Bandung pada 22 Desember 2013 lalu, mereka sadar bahwa sarung pun bisa tampil stylish dengan berbagai modifikasi.

"Awal lihat sarung, kesannya cuma buat laki-laki, terlalu tua. Tapi ternyata sarung juga bisa dibuat lucu, nggak selalu buat laki-laki," ujar Ulelatul KH, mahasiswi Universitas Telkom jurusan Kriya Tekstil dan Mode, salah satu pemenang kompetisi kreasi sarung yang ikut trip wisata ke Bromo.

Irna pun menambahkan, "Dengan anak-anak (mahasiswa) ini ikut kompetisi, ingatan akan sarung akan tertanam. Jadi ketika mereka akan merancang atau mendesain akan ingat terus (sarung)."

Setelah nantinya sarung benar-benar mendunia, bukan tidak mungkin konten lokal lainnya juga bisa terangkat. Irna yang juga tergabung dalam kepanitiaan IFW pun optimis sarung akan mengglobal seperti busana muslim, jika terus digaungkan.

"Seperti busana muslim, karena digaungkan terus lama-lama orang luar juga memperhatikan. Waktu di Indonesia Islamic Fashion yang lalu, ada orang Jepang datang ke Indonesia khusus untuk melihat busana muslim. Padahal mereka awam," tutur salah satu anggota Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia ini.

(hst/eny)

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Artikel Terkait
Detiknetwork
Hide Ads