ADVERTISEMENT

Fenomena Zoom Dysmorphia yang Memicu Jadi Lebih Insecure dengan Penampilan

Kiki Oktaviani - wolipop Selasa, 21 Sep 2021 17:03 WIB
an asian chinese mid adult woman working in dining room typing using her laptop Foto: Getty Images/chee gin tan
Jakarta -

Terlalu sering melakukan meeting selama satu setengah tahun ke belakang ini ternyata memicu masalah mental. Fenomena itu disebut dengan istilah Zoom dysmorphia.

Penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Women's Dermatology pada Agustus 2021 menyebutkan bahwa waktu yang dihabiskan selama online pada 2020 menimbulkan kecemasan untuk kembali ke aktivitas offline. Sebanyak 70% responden takut dengan aktivitas offline atau bertemu dengan orang secara langsung yang mengarah ke gangguan dismorfik.

Gangguan dismorfik tubuh adalah masalah mental dengan gejala yang terlalu fokus dan obsesi pada kekurangan penampilan. Ditambah lagi dengan pengaruh media sosial yang banyak menggunakan filter, nyatanya semakin menambah kecemasan.

Masalah tersebut dibahas oleh Dr. Lanny Juniarti Dipl. AAAM sebagai pendiri dan direktur dari Miracle Aesthetic Clinic dalam acara hari jadi Miracle Clinic ke-25. Sebagai seorang ahli kecantikan yang sudah dua dekade lebih berada di bisnis estetika, hal tersebut rupanya mengganggu Dr. Lanny. Ia merasa miris dengan keadaan mental seseorang terkait fenomena Zoom dysmorphia.

"Semakin sering menggunakan filter, semakin tinggi kecemasannya. Dari penelitian, kecemasannya sampai 83% karena filter. Nyatanya filter membuat seseorang percaya diri secara virtual, namun cemas di kehidupan nyata," ungkap Dr. Lanny dalam acara daring bertema Be Brave To Be You yang diselenggarakan oleh Miracle Clinic, Selasa (25/9/2021).

"Zoom dysmorphia juga adanya kecemasan karena tidak siap WFO hal tersebut karena standar penampilan. Ada tiga alasan utama yang membuat mereka jadi takut. Pertama adalah naiknya berat badan, kedua warna kulit yang tidak merata, dan ketiga adalah jerawat," tambah Dr. Lanny.

Hal tersebut yang membuat Dr. Lanny ingin mengedukasi para wanita agar lebih percaya diri dengan penampilannya. Pun jika ingin melakukan prosedur kecantikan, tidak berdasarkan standar kecantikan yang telah dibuat oleh media sosial.

"Kita sebagai wanita Indonesia punya etnik beauty yang bisa ditonjolkan, kenapa harus menjadi orang lain, kenapa harus jauh-jauh ke Korea. Kita seharusnya bisa merayakan keunikan yang dimiliki," ucap Dr. Lanny.

Sejak di 2019, Miracle Clinic mengusung konsep Facial Architecture yang merupakan metodologi, di mana untuk mencegah filler dan botox yang berlebihan. Menurut Dr. Lanny, Miracle Clinic ingin menonjolkan karakteristik wajah seseorang tanpa mengubahnya.



Simak Video "Perjalanan Spiritual Dennis Lim: dari Bandar Judi hingga Pendakwah"
[Gambas:Video 20detik]
(kik/kik)