Mempertanyakan Relevansi Perayaan Hari Kartini dan Berkebaya
Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April lumrah dirayakan oleh hampir sebagian para perempuan Indonesia dengan berkebaya. Ada pesan nasionalisme dan bangga pada kebudayaan Indonesia yang tersirat sembari merayakan sosok Kartini. Di satu sisi, kebaya bisa saja mereduksi makna emansipasi perempuan yang diperjuangkan Kartini semasa hidupnya.
'Tradisi' memakai kebaya sepertinya sudah sangat melekat pada perayaan Hari Kartini sejak era presiden pertama RI Soekarno. Dialah yang secara resmi menetapkan 21 April, yang adalah tanggal lahir Raden Ajeng Kartini (1879-1904), sebagai Hari Kartini, berdasarkan Keppres No. 108 Tahun 1964.
Ratusan wanita berkebaya saat menghadiri acara peringatan sosok Kartini di Istana Kepresidenan pada 1953. (Foto: Bettmann Archive/Getty Images) |
Sebelum itu, merujuk pada sebuah arsip foto dari tahun 1953, Soekarno sempat menggelar kegiatan di istana kepresidenan untuk memperingati Kartini. Mengenakan setelan modern serba putih, Soekarno duduk di tengah para perempuan yang semuanya berbalut kebaya lengkap dengan selendang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama puluhan tahun, sangat disayangkan bahwasanya Kartini itu hanya dilihat dari apa yang dipakainya," ujar Lynda Ibrahim, penulis sekaligus konsultan bisnis, kepada Wolipop baru-baru ini ketika ditanya soal caranya memaknai Hari Kartini.
Ia kemudian mengungkit konsep 'Ibuisme' dalam buku 'State Ibuism' yang ditulis oleh aktivis dan akademisi Julia Suryakusuma. Buku tersebut memuat kritik penulis terhadap program pemerintah orde lama dan orde baru yang bertujuan memberdayakan perempuan atas nama pembangunan, tapi pada kenyataan menempatkan perempuan sebagai sosok ibu rumah tangga pasif yang hanya bisa melakukan urusan domestik, berdandan cantik, salah satunya dengan berkebaya.
Dua anak bermain skateboard dengan mengenakan busana kebaya di Denpasar, Bali, Minggu (20/4/2025). Kegiatan itu diselenggarakan untuk memeriahkan peringatan Hari Kartini sekaligus mengajak para perempuan khususnya generasi muda untuk terus berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. (Foto: ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF) |
"Saya selalu merasa Indonesia disetir oleh Soekarno dan Soeharto untuk memaknai Ibu Kartini sebagai sosok perempuan anggun yang kebetulan berkebaya," ujar Lynda yang pernah terlibat dalam pembuatan dokumenter tentang kebaya yang digarap oleh Mediacorp Singapura.
Tulisan Vissia Ita Yulianto dalam kolom opini The Jakarta Post dengan judul 'Is Celebrating Kartini's Day Still Relevant Today?' (terbit pada 21 April 2010) turut menyampaikan keironisan tersebut. Menurut peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara dan dosen di Magister Manajemen Pendidikan Tinggi, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada itu, pemaknaan hari Kartini mengalami puncak kemunduran di bawah pemerintahan Soeharto.
"Ketika Orde Baru berkuasa, sosok Kartini mengalami distorsi makna: dari seorang pembongkar sistem patriarkal, tradisional, dan kolonial menjadi - sebagaimana tercermin dalam lagu nasional Kartini - 'putri sejati'. Transformasi ini tentu merepresentasikan legitimasi atas penarikan perempuan dari ranah publik untuk kembali ditempatkan dalam urusan domestik," tulisnya.
Maka dari itu, perayaan Hari Kartini harus dimaknai lebih dari sekadar berkebaya. Lynda berpendapat, sudah semestinya semangat radikalisme Kartini dalam melawan budaya patriarki, memperjuangkan kesetaraan hak perempuan, terutama dalam memeroleh akses pendidikan, yang menjadi pesan esensial untuk diangkat.
"Kalau kita bicara Kartini, harusnya kita juga bicara tentang surat-suratnya yang begitu membara soal perempuan yang tidak bisa sekolah, dia juga memprotes kenapa peran wanita hanya untuk melahirkan, serta segala pemberontakannya," tuturnya. Belum lama ini, UNESCO mengumumkan surat-surat Kartini dan empat warisan dokumenter Indonesia lainnya telah diakui sebagai Memory of the World (MOW).
Koleksi kebaya terbaru rancangan Wilsen Willim dipresentasikan pada Kamis (17/4/2025) untuk menyambut Hari Kartini. (Foto: Dok. Wilsen Willim) |
Dalam konteks fashion, tak dapat dipungkirinya bahwa perayaan Hari Kartini memberi dampak positif seiring semakin banyak perempuan Indonesia yang menaruh minat pada kebaya sebagai busana nasional. Kebaya kini tak hanya dipakai untuk acara-acara formal, tapi juga untuk berkegiatan sehari-hari. Semakin banyak pula desainer Tanah Air yang termotivasi untuk menggarap kebaya dalam kreasinya sehingga kebaya tetap relevan dengan perkembangan zaman.
"But if you ask me, perayaan Kartini harusnya beyond of that. Kita masih belum lepas dari bayang-bayang bagaimana Orde Lama dan Orde Baru mengkonstruksikan Hari Kartini," ungkap Lynda yang memilih untuk berkebaya di luar Hari Kartini.
(dtg/dtg)
Health & Beauty
Rambut Kusut & Rontok Sirna! 3 Sisir Ini Bikin Tatanan Rambut Jadi Sempurna
Elektronik & Gadget
Pantau Kondisi Tubuh & Kualitas Tidur Cara Canggih! Pakai 3 Smart Ring Ini
Home & Living
Stop Bikin Panci Lecet! Beralih ke 3 Spatula Silikon Tahan Panas Ini
Fashion
Tampil Modis Tanpa Gerah dengan 3 Pashmina Kaos 'Flowy' Pilihan 2025
Tema MET Gala 2026 'Costume Art', Kawinkan Keindahan Busana dan Seni Rupa
Apple Rilis iPhone Pocket Issey Miyake, Disambut Pujian Hingga Ejekan
Datik Batik, dari Cinta Wastra hingga Tembus Pasar Global Bersama BRI
Kolaborasi Tak Terduga Vivienne Westwood x Manga NANA Rilis Gaya Punk Feminin
5 Alasan Perhiasan Jadi Hadiah Istimewa & Bernilai Sepanjang Masa
Transformasi Mengejutkan Michelle Yeoh Debut Pixie Cut di Premier Wicked
Gaya Anggunly Artis Pakai Gaun Putih, Cantik bak Dewi di Governors Awards
Gaya Glamour 7 Artis Pakai Kain Tradisional, Dian Sasto Hingga Maudy Ayunda
Benarkah Dia Jodohmu? Ini 10 Tanda Kamu dan Pasangan Benar-benar Cocok
















































