Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Menghadapi Suami yang Melakukan KDRT

Ratih Ibrahim - wolipop
Senin, 31 Agu 2015 13:56 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

dok. Thinkstock
Jakarta -

Hai mba..saya sekarang di pernikahan kedua. Saya bawa anak dua orang dari pernikahan pertama. Dan di pernikahan ini saya dikaruniai satu anak. Pernikahan kami baru satu tahun lebih.

Sebelum menikah kami sudah diskusi bagaimana baiknya kelak sebagai suami istri. Harus mesra seperti pacaran sampai kakek nenek, tidak boleh ada kekerasan, setia, menemani kemanapun suami pergi, karena takut banyak godaan, telepon harus diangkat karena akan membuat curiga dan nggak enak hati kalau tidak diangkat. Bahkan menghadap presiden pun harus angkat telepon, karena pasangan adalah nomer satu, harus menanjak ilmu dan keagamaan, harus up to date tentang perkembangan dunia, dan lain-lain.

Tetapi setelah menikah, saya baru tahu kalau suami mudah emosian. Di jalan saat berkendara saja selalu ada saja makian dan teriakan yang dikeluarkannya. Orangtua juga bisa dibentaknya. Dan saya sampai diseret, dibanting dan ditonjok. Mengenai ibadah dia jadi sangat malas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak menikah saya dua kali kena penyakit menular seksual. Sewaktu saya hamil dia pernah berjanji demi jabang bayi nggak akan marah-marah. Tetapi kenyataannya saya yang lagi hamilpun bisa dibantingnya dan dipukuli.

Masalah kami biasa sepele. Tetapi dia bisa marah besar karena saya yang mau pulang ke orangtua. Saya merasa tidak sudi dibentak-bentak hanya masalah sepele. Tetapi malah saya ditahan untuk tidak pergi dan dibanting dan dipukuli.

Hubungan seksual kami jarang sekali. Bicarapun seperlunya. Memang suami lebih banyak di rumah, tetapi suami lebih sering dengan gadgetnya.

Suami saat ini sedang kesulitan ekonomi. Jadi makin sering marah. Ada saja yang salah dari saya. Saya ajak bicara hati ke hati selalu marah dan bilang muak. Intinya saya ingin saling memaafkan dan hendaknya dia lembut berkata ke saya. Tetapi suami menolak karena sudah keseringan berantem dan saya juga sudah sering kasar sama dia.

Saya sempat curhat ke orangtuanya. Tetapi seringan buntu. Karena selalu suami banyak bercerita buruk tentang saya. Sehingga saya yang dianggap hanya mau pergi dari rumah. Padahal saya merasa dizolimi secara verbal, dan tindakan. Saya ingin suami sebagai imam membimbing rumah tangga kami menjauh dari kehancuran. Bukan malah membiarkan dan bersikap seakan saya yang paling bersalah.

Orangtua saya menasehati kalau saya harus maklum dengan perangai suami. Walaupun sudah berusaha berubah banyak, tetapi ada saja prinsip-prinsip baru yang mengekang saya. Seperti dia tidak suka ditanya mau pergi ke mana, kerjaannya bagaimana, dan tidak suka jika saya menelepon saat dia keluar rumah. Handphone dia tidak boleh saya pegang apalagi lihat.

Saya semakin merasa tidak bersahabat dengan suami sendiri. Saya juga merasa gagal ketika berusaha baik dengan suami. Saya minta peluk saat tidur saja suami marah besar. Bagaimana baiknya ya mba menghadapi suami saya ini?

Kasih, 35 Tahun

Jawab:
 
Dear Kasih,

Seorang suami yang benar-benar menyayangi dan menghargai kamu sebagai istrinya, tidak akan sampai hati untuk menyeret, membanting, ataupun menonjok kamu. Bila benar suami kamu telah melakukan hal demikian maka perilakunya tersebut sudah termasuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dapat mengancam keselamatan jiwamu. Atas hal ini kamu dapat membuat visum atas kekerasan yang dilakukan suami sebagai bukti.

Untuk menghadapi perlakuan suamimu, bersikaplah tegas. Milikilah kemampuan dan keberanian untuk membela dirimu sendiri, terutama ketika ia melakukan kekerasan terhadapmu. Namun perlu diperhatikan bersikap tegas membela diri berbeda dengan bersikap kasar yang ditujukan sebagai bentuk sakit hati ataupun membalas dendam terhadap suami. Bila kamu bingung dengan hal ini, konsultasikanlah lebih lanjut dengan psikolog, konselor pernikahan ataupun pemuka agama yang kompeten.

Apabila kamu dan suami masih sama-sama ingin memertahankan rumah tangga, kamu dan suamimu dapat berkonsultasi dengan psikolog, konselor pernikahan, atau pemuka agama yang mempunyai kapasitas dalam melakukan konseling pernikahan. Namun jika kamu melihat bahwa suamimu tidak dapat menghentikan perilakunya maupun memiliki kesadaran bahwa perilakunya salah, kamu dapat bersikap tegas mengambil keputusan terhadap kelanjutan hubungan pernikahan kalian. Fokuslah pada keselamatan jiwa kamu dan anak-anakmu. Kamu juga harus memikirkan masa depanmu sendiri dan anak-anakmu. Semoga membantu. Salam hangat Kasih.

(eny/eny)

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Artikel Terkait
Detiknetwork
Hide Ads