Hari Batik Nasional
Kisah Lulusan ITB Jual Batik untuk Pria Kantoran, Raup Omzet Rp 150 Juta
Gresnia Arela Febriani - wolipop
Rabu, 02 Okt 2019 11:12 WIB
Jakarta
-
Pada Hari Batik Nasional ini tahukah kamu asal kata dari batik? Batik sebenarnya berasal dari bahasa Jawa ambhatik, dari kata amba yang berarti lebar, luas, kain; dan titik yang berarti titik atau matik (kata kerja dalam bahasa Jawa berarti membuat titik) dan kemudian berkembang menjadi istilah batik.
Batik berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Ciri khas batik adalah cara penggambaran motif pada kain yang menggunakan proses pemalaman, yaitu menggoreskan malam (lilin) yang ditempatkan pada wadah yang bernama canting dan cap.
Batik yang dibuat dengan cap ini menginspirasi seorang pemuda bernama Ergy Adhitama untuk berbisnis baju batik. Melalui label Bonolo, Ergy mengembangkan baju batik cap khusus untuk pria kantoran. Idenya sendiri datang dari dirinya yang dulunya pekerja kantoran.
"Aku dulu kerja kantoran. Dulu daripada pakai kemeja yang dimasukin ke dalam celana, aku lebih senang pakai batik lengan pendek dikeluarin. Awalnya pinjam batik punya ayah, terus harus beli, nah pas beli awalnya nggak tahu beli di mana, yang bagus itu kayak gimana, harganya berapa," ucap Ergy saat bertemu dengan Wolipop di Jakarta Selatan, Selasa (1/10/2019).
Pria 29 tahun itu kemudian memutuskan untuk mencoba membuat baju batik sendiri dan menjualnya. Dia hanya mengaku modal nekat dan uang yang tidak banyak yaitu Rp 7 juta.
Menggandeng pengarjin batik dari Pekalongan, Cirebon dan Garut, Ergy mulai memproduksi baju batik untuk pria kantoran. Dia juga menyewa sebuah rumah di kawasan Tebet sebagai workshop untuk satu penjahit dan 10 orang bagian produksi.
Ergy mengungkapkan untuk motif batik Bonolo, dia biasanya meminta pada pengrajin untuk membuatnya secara khusus. Ini yang membuat proses pembuatan bahan batik itu menjadi lebih lama karena prosesnya masih tradisional yaitu dengan dicap. Oleh karena itu harga baju batiknya pun tak murah yaitu mulai dari Rp 300 ribu.
Ergy mengakui penjualan batik Bonolo di awal tak mudah dan langsung meraup untung. Dia awalnya menawarkan baju-bajunya kepada teman-temannya sendiri. Dia juga menjualnya secara online dengan modal foto.
"Awalnya maksa temen buat beli produkku, lama-lama dari mulut ke mulut ada market dan demandnya. Akirnya aku bikin web dan feed Instagram dibagusin," jelas lulusan Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, jurusan Bisnis Manajemen itu.
Memiliki desain batik yang khas dan motif sederhana, Ergy mencoba membuat baju batik yang bisa disukai kalangan muda. Oleh karena itu dia membuat motif batik yang tidak terlalu tradisional.
"Aku kombinasikan dan cari celahnya supaya nggak terlalu tradisional, sehingga memudahkan pelanggan yang belum biasa pakai batik mengadopsi batik dari Bonolo," katanya.
Perlahan tapi pasti bisnis yang dimulainya sejak 2016 itu mulai menghasilkan. Ergy pun mengungkapkan penjualan batiknya biasanya akan meningkat tajam pada momen-momen tertentu.
"Siklus retail biasanya akhir tahun dan Lebaran pas THR Turun, nggak hanya baju muslim, baju batik juga penjualannya cukup signifikan," ujar pria yang terinspirasi dari bahasa Afrika untuk menamai label batiknya Bonolo itu.
Kini setiap bulannya Ergy bisa mendapatkan omzet mencapai Rp 150 juta. Dan saat Lebaran, omzetnya pun bertambah.
"Kalau Lebaran buying powernya bisa lebih tinggi omsetnya bisa mencapai Rp 200 juta," kata Ergy yang juga membuat program khusus beli 3 gratis 1 untuk Hari Batik Nasional itu
Tentunya seperti bisnis pada umumnya, bisnis yang dijalani Ergy pun tak selalu berjalan mulus. Dibutuhkan kesabaran apalagi jika modal awalnya tak terlalu besar.
"Modal Rp 7 juta, hanya untuk menjadi produk semua. Muter dari sana aja dan menunggu barangnya terjual," ucapnya.
Meski tak selalu mulus, Ergy meyakini bisnis baju batik pria kantoran ini menjanjikan. Selama pekerja kantoran nyaman memakai batik, menurutnya konsumennya akan selalu ada.
Ergy pun berharap semakin banyak masyarakat yang sadar untuk memakai batik dan tidak hanya di Hari Batik Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Oktober saja. Dia ingin mengubah stigma masyarakat yang menganggap batik itu adalah kuno alias jadul.
"Batik itu semakin banyak desainer yang mencoba membuat inovasi terhadap batik, pemikiran orang yang semakin modern, aku harap semakin banyak orang yang sadar untuk memakai batik," tutupnya.
(gaf/eny)
Batik berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Ciri khas batik adalah cara penggambaran motif pada kain yang menggunakan proses pemalaman, yaitu menggoreskan malam (lilin) yang ditempatkan pada wadah yang bernama canting dan cap.
Batik yang dibuat dengan cap ini menginspirasi seorang pemuda bernama Ergy Adhitama untuk berbisnis baju batik. Melalui label Bonolo, Ergy mengembangkan baju batik cap khusus untuk pria kantoran. Idenya sendiri datang dari dirinya yang dulunya pekerja kantoran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ergy Adhitama. Foto: Gresnia Arela/Wolipop |
"Aku dulu kerja kantoran. Dulu daripada pakai kemeja yang dimasukin ke dalam celana, aku lebih senang pakai batik lengan pendek dikeluarin. Awalnya pinjam batik punya ayah, terus harus beli, nah pas beli awalnya nggak tahu beli di mana, yang bagus itu kayak gimana, harganya berapa," ucap Ergy saat bertemu dengan Wolipop di Jakarta Selatan, Selasa (1/10/2019).
Pria 29 tahun itu kemudian memutuskan untuk mencoba membuat baju batik sendiri dan menjualnya. Dia hanya mengaku modal nekat dan uang yang tidak banyak yaitu Rp 7 juta.
Menggandeng pengarjin batik dari Pekalongan, Cirebon dan Garut, Ergy mulai memproduksi baju batik untuk pria kantoran. Dia juga menyewa sebuah rumah di kawasan Tebet sebagai workshop untuk satu penjahit dan 10 orang bagian produksi.
Ergy Adhitama. Foto: Gresnia Arela/Wolipop |
Ergy mengungkapkan untuk motif batik Bonolo, dia biasanya meminta pada pengrajin untuk membuatnya secara khusus. Ini yang membuat proses pembuatan bahan batik itu menjadi lebih lama karena prosesnya masih tradisional yaitu dengan dicap. Oleh karena itu harga baju batiknya pun tak murah yaitu mulai dari Rp 300 ribu.
Ergy mengakui penjualan batik Bonolo di awal tak mudah dan langsung meraup untung. Dia awalnya menawarkan baju-bajunya kepada teman-temannya sendiri. Dia juga menjualnya secara online dengan modal foto.
"Awalnya maksa temen buat beli produkku, lama-lama dari mulut ke mulut ada market dan demandnya. Akirnya aku bikin web dan feed Instagram dibagusin," jelas lulusan Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, jurusan Bisnis Manajemen itu.
Memiliki desain batik yang khas dan motif sederhana, Ergy mencoba membuat baju batik yang bisa disukai kalangan muda. Oleh karena itu dia membuat motif batik yang tidak terlalu tradisional.
Foto: Gresnia Arela/Wolipop |
"Aku kombinasikan dan cari celahnya supaya nggak terlalu tradisional, sehingga memudahkan pelanggan yang belum biasa pakai batik mengadopsi batik dari Bonolo," katanya.
Perlahan tapi pasti bisnis yang dimulainya sejak 2016 itu mulai menghasilkan. Ergy pun mengungkapkan penjualan batiknya biasanya akan meningkat tajam pada momen-momen tertentu.
"Siklus retail biasanya akhir tahun dan Lebaran pas THR Turun, nggak hanya baju muslim, baju batik juga penjualannya cukup signifikan," ujar pria yang terinspirasi dari bahasa Afrika untuk menamai label batiknya Bonolo itu.
Kini setiap bulannya Ergy bisa mendapatkan omzet mencapai Rp 150 juta. Dan saat Lebaran, omzetnya pun bertambah.
"Kalau Lebaran buying powernya bisa lebih tinggi omsetnya bisa mencapai Rp 200 juta," kata Ergy yang juga membuat program khusus beli 3 gratis 1 untuk Hari Batik Nasional itu
Tentunya seperti bisnis pada umumnya, bisnis yang dijalani Ergy pun tak selalu berjalan mulus. Dibutuhkan kesabaran apalagi jika modal awalnya tak terlalu besar.
"Modal Rp 7 juta, hanya untuk menjadi produk semua. Muter dari sana aja dan menunggu barangnya terjual," ucapnya.
Meski tak selalu mulus, Ergy meyakini bisnis baju batik pria kantoran ini menjanjikan. Selama pekerja kantoran nyaman memakai batik, menurutnya konsumennya akan selalu ada.
Ergy pun berharap semakin banyak masyarakat yang sadar untuk memakai batik dan tidak hanya di Hari Batik Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Oktober saja. Dia ingin mengubah stigma masyarakat yang menganggap batik itu adalah kuno alias jadul.
"Batik itu semakin banyak desainer yang mencoba membuat inovasi terhadap batik, pemikiran orang yang semakin modern, aku harap semakin banyak orang yang sadar untuk memakai batik," tutupnya.
Health & Beauty
Gajian Sudah Masuk? Yuk Saatnya Bikin Riasan Kamu Makin On Point dengan Aeris Beaute Brush Sets!
Fashion
Gajian Datang? Saatnya Tampil Anggun Tanpa Ribet dengan Koleksi Heels dari Ayomichan
Health & Beauty
Gajian Cair? Saatnya Beli Skincare, Mediheal Skincare Pad Ini Layak Kamu Lirik!
Hobbies & Activities
Benston vs Rixton : Keyboard Foldable 88 Key, Mana yang Lebih Worth It untuk Pemula?
Artikel Terkait
ARTIKEL LAINNYA
Harga Diprediksi Naik, Ini Alasan Investasi Hermes Lebih Untung Dibanding Emas
Rayakan Emily in Paris Musim 5, Fendi Rilis Tas Baguette dan Peekaboo Edisi Spesial
Eksplorasi Organza Transparan Dalam Balutan Busana Tropis di Runway BFT 2025
Tak Hanya Narapidana, Karya Anak Down Syndrome Warnai Hari Terakhir BFT 2025
Busana Pengantin Menerawang Curi Atensi di Bali Fashion Trend 2025
Most Popular
1
Tylor Chase Ungkap Kisah Hidupnya dari Bintang Nickelodeon Kini Bak Gelandangan
2
Bukan Anti Peluru, Verrell Bramasta Pakai Rompi Anti Galau Kunjungi Warga
3
Venus Williams Resmi Menikah, Serena Williams Kasih Hadiah Yacht
4
50 Ucapan Natal untuk Atasan hingga Teman, Sopan, Hangat, dan Berkesan
5
Kaleidoskop 2025
Ini 7 Tren Hijab 2025: Pashmina Meleyot, Motif hingga Menjuntai
MOST COMMENTED












































Ergy Adhitama. Foto: Gresnia Arela/Wolipop
Ergy Adhitama. Foto: Gresnia Arela/Wolipop
Foto: Gresnia Arela/Wolipop