Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Kisah Widianti Widjaja Generasi Ketiga Batik OST yang Belum Punya Penerus

Rahmi Anjani - wolipop
Sabtu, 19 Jul 2025 15:00 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Batik Oey Soe Tjoen (OST)
Widianti Widjaja, Pembatik Generasi Ketiga Batik Oey Soe Tjoen (OST) Foto: Rahmi Anjani/Wolipop
Jakarta -

Rumah Batik Oey Soe Tjoen (OST) akan menggelar pameran di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta mulai 25 Juli 2025. Pembatik yang sudah berdiri 100 tahun tersebut bakal menampilkan karya-karya terbaik sekaligus kisah jatuh bangun mereka selama ini. Kini dipegang oleh generasi ketiga, Widianti Widjaja, OST diambang kepunahan karena belum punya penerus.

Oey Soe Tjoen (OST) sendiri berdiri sejak tahun 1925 di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah. Adalah Oey Soe Tjoen dan Kwee Tjoen Giok Nio, pendiri dan pembatik generasi pertama yang menurunkan ilmu juga bisnisnya kepada keluarga. Setelah mewariskannya kepada Oey Kam Long (Muljadi Widjaja) dan Lie Tjien Nio (Istijanti Setiono), kini generasi ketiga dipegang oleh Oey Kiem Lian (Widianti Widjaja) beserta suami Oey Ien King (Setyo Purwanto).

Meski namanya kurang familiar, OST adalah brand Batik yang diburu dan dinanti kolektor. Rumah batik yang menjual kainnya secara pesanan tersebut sudah punya daftar tunggu dari ratusan klien. Biasanya sebuah pesanan bisa memakan waktu sampai tiga hingga delapan tahun, tergantung prosesnya, untuk akhirnya mendapatkan Batik OST.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Widianti kini bekerja dengan 12 pembatik di Kedungwuni. Ia mendesain sendiri pesanan Batik, tak jarang dari kolektor dan orang-orang penting. Sebagai penerus ketiga yang memperjuangkan OST bisa bertahan sampai sekarang, ternyata Widia awalnya tidak mau mengambil tanggung jawab itu bahkan tidak suka Batik.

ADVERTISEMENT

"Saya terima (jadi penerus) bukan karena rasa suka. Terus terang saya tidak suka Batik tapi terpaksa sebagai salah satu cara membalas budi orang tua karena papa meninggal dan mama tidak bisa (melanjutkan usaha) kalau tidak ada yang mewarnai. Jadi saya mempelajari pewarnaan dan komitmen jangan sampai OST hancur di tanganku, OST boleh berhenti tapi jangan sampai hancur," kata Widia.

Widia menjelaskan bagaimana OST menjadi batik tulis halus yang legendaris. Kain OST disebut pernah dilelang di Christie yang laku hingga miliaran rupiah. Selain itu, pada zamannya kain tersebut sempat menjadi barang mewah bahkan mahar yang bisa menjelaskan status sosial seseorang pada era 40an.

Walau sudah berjalan 100 tahun, Widia bertekad untuk mengikuti pakem meski motifnya disesuaikan dengan keinginan klien atau hatinya sendiri. Karena itu juga, batik OST tidak memasarkan produknya secara komersial dan harus dilepas dengan standar tinggi. Jika tidak sesuai aturan, Widia disebut harus berhenti dan keluar dari rumah.

"OST dikerjakan bolak balik dengan pewarnaan celup satu warna satu proses. Jadi kalau ada empat warna, ada empat kali perebusan. Kalau di tempat lain bisa jadi sekali dan semuanya canting. Saya sendiri mulai mengubah desainnya karena mengikuti permintaan tapi tidak keluar pakem mengikuti cara kakek saya tapi desain mengikuti kemajuan zaman," jelas Widia.

Batik Oey Soe Tjoen sendiri memiliki ciri khas gradasi warna yang cantik dan desain yang harmonis meski tidak didasarkan pada filosofi tertentu. Awalnya kain tersebut dibuat polos hingga muncul motif bunga yang dikenal sebagai hokokai Jawa kontemporer pada generasi kedua. Di tangan Widia, ia mulai banyak membubuhkan gambar tulip, seruni, naga phoenix, animasi hingga yang terbaru terinspirasi boygroup Korea, BTS.

Dalam membuat Batik sejak ayahnya meninggal pada 2002, Widianti Widjaja disebut sangat perfectionist. Misalnya ketika sebuah kain ternyata gagal karena proses pewarnaan, dia akan mengulang pembuatannya dengan kain baru meski sudah bertahun-tahun dikerjakan. Kain yang rusak atau gagal bisa jadi dibakar karena tidak layak jual menurutnya.

Selain rusak karena prosesnya, pembuatan kain Batik OST sering kali terkendala musim. Ketika sering hujan tentu akan memperlambat proses pewarnaan. Adapun pengerjaan bisa jadi terganggu ketika pembatik memasuki musim panen. Widia tidak mengizinkan pekerjanya memegang Batik saat membantu suami mereka mengolah sawah atau kebun karena hasilnya akan berpengaruh.

Karena itu, klien tidak hanya butuh uang tapi juga kesabaran untuk menunggu. Proses pembeliannya sendiri biasanya seorang pembeli akan menaruh nama di daftar tunggu yang sekarang sudah sampai 150 dan belum membuka pesanan lagi. Setelah jadi, Widia akan menampilkan dan menanyakan apakah klien suka dengan hasilnya. Jika tidak, Batik yang dijual mulai dari Rp 40 juta itu akan diberikan kepada pemesan selanjutnya.


Dipercaya begitu banyak kolektor dan pecinta Batik, sayangnya Oey Soe Tjoen diambang kepunahan. Dengan hanya 15 pekerja yang paling muda berusia 40 tahun, Widia masih belum menemukan orang untuk menjadi penerusnya.

Anak-anaknya sendiri disebut belum menemukan ketertarikan atau bakat dalam usaha ini. Sedangkan dalam klan, hanya boleh ada satu orang yang memegang Batik OST. Hal tersebut sudah menjadi aturan sejak dulu untuk menghindari persaingan antar keluarga. Karenanya, tidak ada saudara Widia yang berbisnis Batik.

"Saya sudah pernah meminta anak saya. Saya bilang kalau mau meneruskan minimal punya hasil membatik yang sama, nggak harus lebih bagus. Tapi mereka tidak mau. Sekarang saya serahkan saja pada semesta, kalau tidak ada, Batik ini akan berhenti pada saya tapi saya berjanji tidak akan hancur di tangan saya," ujar ibu dua anak itu.

(ami/ami)

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Artikel Terkait
Wolipop Signature
Detiknetwork
Hide Ads