Senat Prancis resmi mengadopsi rancangan undang-undang (RUU) yang bertujuan membatasi dampak lingkungan dari industri fast fashion. RUU ini secara khusus menargetkan perusahaan-perusahaan 'ultra' fast fashion asal Tiongkok seperti Shein dan Temu, serta influencer yang mempromosikan produk mereka.
Dalam pemungutan suara yang nyaris bulat pada Selasa (11/6/2025), 337 senator mendukung dan hanya satu menolak. RUU tersebut, yang sebelumnya disahkan Majelis Nasional Maret lalu, mengatur pelarangan iklan dan promosi produk fast fashion, serta memberikan sanksi kepada perusahaan yang tak memenuhi kriteria keberlanjutan. Di antaranya, pajak lingkungan hingga 10 euro per item pada 2030, atau maksimal 50 persen dari harga produk sebelum pajak.
RUU ini lahir dari kekhawatiran terhadap masifnya konsumsi tekstil murah yang menyebabkan lonjakan limbah pakaian. Data dari badan lingkungan Prancis (Ademe) menyebutkan bahwa rata-rata 48 pakaian per orang dilempar ke pasar setiap tahun, sementara 35 pakaian dibuang setiap detik di seluruh negeri.
"Fast fashion adalah ancaman tiga lapis: mendorong konsumsi berlebih, merusak lingkungan, dan melemahkan bisnis lokal," kata Menteri Transisi Ekologis Prancis, Agnès Pannier-Runacher, seperti dikutip AFP.
Ia menyebut pengesahan ini sebagai "langkah besar" dalam perjuangan ekologis.
Anne-Cécile Violland, anggota parlemen dari sayap tengah-kanan yang menggagas RUU ini, menegaskan bahwa tujuannya mendukung RUU tersebut untuk "mengurangi dampak lingkungan dari industri tekstil secara menyeluruh".
RUU yang kini masuk tahap akhir pembahasan ini juga telah disesuaikan dengan pengkategorian 'ultra' dan 'klasik' fast fashion. Dengan begitu, merek Eropa seperti Zara, H&M, dan Kiabi, yang masuk dalam klasifikasifast fashion klasik tidak terdampak.
"Klarifikasi yang dibuat Senat memungkinkan untuk menargetkan pelaku yang mengabaikan realitas lingkungan, sosial, dan ekonomi, terutama Shein dan Temu, tanpa merugikan sektor busana siap pakai Eropa," jelas Ketua Komisi Perencanaan Wilayah dan Pembangunan Berkelanjutan Senat Jean-François Longeot,
Rapporteur dari partai Republik kanan-tengah, Sylvie Valente Le Hir, juga menegaskan bahwa RUU ini tidak ditujukan untuk menyulitkan merek-merek Prancis. "Saya tidak berniat membuat perusahaan-perusahaan Prancis yang menopang vitalitas ekonomi negara harus membayar satu euro pun," katanya.
Salah satu pasal krusial dalam RUU ini adalah pelarangan iklan untuk produk fast fashion. Influencer yang mempromosikan merek-merek seperti Shein dapat dikenai sanksi. Selain itu, perusahaan wajib memberi informasi yang transparan kepada konsumen mengenai dampak lingkungan dari produk yang mereka jual melalui sistem eco-score.
Sistem penilaian ini akan menjadi dasar pemajakan terhadap produk-produk yang dianggap paling merusak lingkungan. Pada 2025, produk dengan skor lingkungan rendah akan dikenai pajak 5 euro, meningkat dua kali lipat menjadi 10 euro pada 2030.
Respons Shein
Shein membantah menjadi bagian dari masalah. "Kami bukan perusahaan fast fashion," ujar perusahaan itu dalam pernyataan resminya. Jubir Shein bahkan menyebut bahwa model bisnis mereka justru "bagian dari solusi, bukan masalah".
Shein menjual produk dengan harga yang lebih murah ketimbang merek sejenis di Eropa. Kalah bersaing, beberapa nama seperti Jennyfer telah bangkrut pada April lalu, dan NafNaf dinyatakan dalam pengawasan pengadilan sejak Mei.
Union Industri Tekstil Prancis menyambut RUU ini sebagai "langkah awal" penting, meski mengakui bahwa isinya belum sepenuhnya ideal.
Meski telah disetujui dua kamar parlemen, RUU ini belum resmi menjadi undang-undang. Pemerintah masih harus menginformasikan rancangan tersebut ke Komisi Eropa untuk memastikan kesesuaiannya dengan hukum Uni Eropa. Selain itu, diperlukan pembentukan komite gabungan Majelis Nasional dan Senat untuk menyelaraskan isi kedua versi sebelum diberlakukan.
Jika terealisasi, Prancis akan menjadi negara pertama di dunia yang secara eksplisit melarang iklan fast fashion dan mengatur pajak berdasarkan dampak lingkungan dalam sektor tekstil. Sebuah langkah radikal yang bisa menjadi preseden global dalam upaya mendesak perubahan industri mode menuju arah yang lebih berkelanjutan.
Simak Video "Video Indonesia Perlu Sertifikasi Influencer Nggak Sih? Ini Kata Kemkomdigi"
(dtg/dtg)