Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Dopamine Dressing, Trik Berbusana yang Bikin Pemakainya Selalu Happy

Daniel Ngantung - wolipop
Selasa, 03 Jun 2025 18:00 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Obin mengangkat tema
Koleksi BinHouse yang menyuguhkan kebaya berwarna cerah. Model Kimmy Jayanti memeragakannya sembari tersenyum berseri. (Foto: Mohammad Abduh/detikcom)
Jakarta -

Ada kalanya, perasaan bahagia muncul hanya karena busana yang kita pilih. Tanpa disadari, mungkin kita sedang mempraktikkan dopamine dressing, sebuah konsep yang mengaitkan pilihan busana, terutama warna, dengan kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis.

Meski istilah ini terkesan baru, kaitan antara warna pakaian dan emosi sebenarnya telah lama dikaji dalam dunia psikologi. Namun, muncul pertanyaan: Apakah benar warna-warna cerah bisa membuat kita lebih bahagia? Atau benarkah pakaian bisa memengaruhi mood kita sehari-hari?


Sudah jamak diketahui bahwa dopamin adalah zat kimia alami yang diproduksi tubuh dan berfungsi sebagai neurotransmitter, yaitu pembawa pesan antar sel saraf.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Koleksi Sapto Djojokartiko Spring/Summer 2025Koleksi Sapto Djojokartiko Spring/Summer 2025 (Foto: Mohammad Abduh/detikcom)

Maria Costantino, dosen Studi Budaya dan Sejarah di London College of Fashion, menjelaskan bahwa dopamin berkaitan erat dengan perasaan senang, motivasi, dan penghargaan. Dilansir dari Harper's Bazaar internasional, saat kita merasakan sesuatu yang menyenangkan, termasuk mengenakan pakaian baru atau favorit, dopamin bisa meningkat.

Konsep inilah yang mendasari kajian Profesor Karen Pine dari University of Hertfordshire dalam penelitiannya tentang relasi pakaian dan rasa percaya diri pada 2012.

ADVERTISEMENT

Dari temuannya, tingkat kepercayaan diri seseorang dapat dipengaruhi oleh pakaian yang sarat makna simbolis bagi mereka. Meskipun tidak spesifik mengaitkannya dengan warna, studi ini memperkuat gagasan bahwa busana bisa menjadi pemicu emosi positif.

SYDNEY, AUSTRALIA - MAY 12: Violet Grace Atkinson wearing Ganni coat, Ganni skirt, Balenciaga boots, Louis Vuitton bag, Cos jumper and Prada glasses at Afterpay Australian Fashion Week 2022 on May 12, 2022 in Sydney, Australia. (Photo by Hanna Lassen/Getty Images)Gaya berbusana yang bisa kamu jadikan inspirasi untuk dopamine dressing. (Foto: Getty Images/Hanna Lassen)

Dalam perspektif sejarah, mulai dari Mesir kuno hingga modern, warna selalu diyakini memiliki efek psikologis tertentu. Misalnya biru muda erat kaitannya dengan efek menenangkan, hijau pucat membuat pikiran lebih rileks, sementara merah bisa membangkitkan gairah.

Namun, Shakaila Forbes-Bell, seorang psikolog fashion dan pendiri Fashion Is Psychology, menekankan bahwa interpretasi warna tidak selalu universal. "Misalnya, putih di budaya Barat melambangkan kemurnian, sementara di sebagian besar budaya Asia, putih identik dengan duka," ujarnya. Dengan demikian, reaksi emosional terhadap warna sangat bergantung pada pengalaman pribadi dan budaya seseorang.

Menurut Forbes-Bell, dopamine dressing yang sempat viral di TikTok awal tahun ini sebaiknya dipahami lewat teori enclothed cognition, yang menyatakan bahwa asosiasi pribadi terhadap pakaian sangat kuat. Jika seseorang merasa bahagia saat mengenakan sweater kuning karena mengingatkan pada momen menyenangkan, maka pakaian itu bisa membangkitkan perasaan bahagia.

Tips Dopamine Dressing: Tidak Harus Cerah, Asalkan Bermakna

Menariknya, tidak semua orang merasa bahagia dengan warna cerah. Ada pula mereka yang mengklaim warna gelap seperti hitam justru memberi rasa percaya diri dan kekuatan. "Ada studi yang menunjukkan bahwa orang yang mengenakan pakaian hitam cenderung dianggap lebih berwibawa dan dominan dalam suatu kelompok," kata Forbes-Bell. Artinya, jika seseorang merasa percaya diri dengan gaya tertentu, rasa bahagia pun akan mengikuti-apa pun warnanya.


Pandangan tentang pengaruh warna terhadap psikologi seseorang tak lepas dari dampak dari pandemi COVID-19 yang sempat membawa kita pada gaya berpakaian yang fungsional dan minim estetika. Kini, saat dunia perlahan bangkit, banyak orang mencari kembali kegembiraan melalui fashion. "Manusia pada dasarnya mencari hal baru dan menyenangkan," ujar Forbes-Bell.

PARIS, FRANCE - APRIL 21: Alba Garavito Torre wears a baby blue and white striped print pattern puffy short sleeves / long dress from The Label Edition, gold bracelets, gold rings, a pale pink matte leather Capazo handbag from Saonara, during a street style fashion photo session, on April 21, 2023 in Paris, France. (Photo by Edward Berthelot/Getty Images)(Foto: Edward Berthelot/Getty Images)

Koleksi para desainer yang kini kembali menghadirkan warna-warna cerah dan siluet yang ekspresif di panggung mode memperkuat pernyataan tersebut.

Kondisi serupa ditemui Maria Costantino dalam respons masyarakat Inggris terhadap kondisi sosial dari zaman ke zaman. Ia mencatat, era pasca-Perang Dunia I ditandai dengan gaya flamboyan tahun 1920-an, sementara masa pemerintahan petinggi politik Inggris Oliver Cromwell (1653-1658) penuh dengan warna kelabu dan gaya yang sederhana. Sebaliknya, masa pemulihan setelahnya memunculkan kembali warna-warna mencolok, seperti yang terlihat pada masa Restoration England dan budaya rave tahun 1980-an yang identik dengan neon.

Pada akhirnya, dopamine dressing bukan soal mengikuti tren warna neon atau palet musim semi. Kuncinya, kenali warna dan gaya berbusana yang secara personal memberimu kebahagiaan.

Maudy Ayunda dan Jesse Choi foto couple pakai baju tennis.Maudy Ayunda dan Jesse Choi. (Foto: Instagram/@maudyayunda)

"Tambahkan baju warna-warna favorit di lemari pakaian, atau warna yang mengingatkanmu pada kenangan indah, tempat yang menyenangkan, atau seseorang yang Anda cintai. Kenali apa yang bisa kamu asosiasikan dengan rasa percaya diri dan kebahagiaan... dan pakailah itu!" saran Forbes-Bell.

(dtg/dtg)


Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Wolipop Signature
Detiknetwork
Hide Ads