Karpet merah kembali menyelimuti anak tangga ikonis The Metropolitan Museum of Art (The MET), New York City, Amerika Serikat. Senin pertama Mei tahun ini telah tiba. MET Gala 2025 sudah di depan mata.
Di luar glamornya karpet merah MET Gala, Senin (5/5/2025) malam waktu setempat, inti dari perhelatan akbar yang kerap dijuluki 'Oscar-nya East Coast' itu sebenarnya adalah pembukaan pameran mode tahunan di The MET. Selain sebagai pembuka, MET Gala juga bertujuan untuk menggalang dana bagi pameran tersebut.
The Costume Institute, selaku departemen yang khusus mengkurasi dan mempreservasi koleksi fashion di museum tersebut mengangkat tema "Superfine: Tailoring Black Style" untuk merayakan Black Dandyism, estetika berpakaian necis para pria kulit hitam yang sejarahnya dapat ditarik hingga tiga abad silam. Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun, sebuah pameran khusus didedikasikan untuk fashion pria di museum ini.
Buku "Slaves to Fashion: Black Dandyism and the Styling of Black Diasporic Identity" (2009) karya Monica L. Miller menjadi inspirasi utama pameran. Monica, seorang profesor kajian Afrika di Barnard College, NYC pun turut dilibatkan sebagai kurator tamu ekshibisi ini.
Akar dari Perbudakan
Black Dandyism tak sekadar soal berpakaian apik, tapi juga bentuk perlawanan budaya yang berakar dari era perbudakan di AS pada abad ke-18. Kala itu, muncul tren di kalangan budak dan pelayan kulit hitam yang berpakaian rapi layaknya bangsawan kulit putih.
Menurut Monica, busana bagi para dandy merupakan semacam strategi untuk merebut kembali martabat dan pengakuan dalam masyarakat yang meminggirkan mereka.
"Busana dan fashion telah digunakan dalam perebutan kekuasaan dan estetika oleh orang kulit hitam sejak masa perbudakan hingga hari ini, dan dandyism sering kali dimanfaatkan oleh individu untuk memanipulasi hubungan antara pakaian, identitas, dan kekuasaan. Gaya dan perannya dalam membentuk identitas kulit hitam dalam diaspora Atlantik menjadi inti dari pameran ini," jelasnya dalam sebuah video di YouTube The MET yang diakses pada Senin (5/5/2025).
Dari Zoot Suit hingga Swenkas
Gaya para musisi jazz dan aktivis kulit hitam merepresentasikan gaya dandy yang berkembang di AS pada era 1930/1940-an.
Setelan zoot yang terdiri dari jas longgar dan celana berpotongan lebar identik dengan dandyism masa itu. Sebagai fashion statement, zoot juga menjelma sebagai simbol perlawanan terhadap rasisme sampai muncul gerakan Zoot Suit Riots di Los Angeles.
Tak hanya di AS, ekspresi Black Dandyism turut berkembang di berbagai belahan dunia. Fenomena serupa juga terjadi di Afrika. Di Johannesburg era Apartheid, muncul kelompok tsotsis dan swenkas, pria muda yang memadukan gaya Hollywood dengan tailoring lokal. Mereka berkompetisi dalam ajang busana, menampilkan kerapian dan kepercayaan diri yang menantang norma sosial. Di Republik Demokratik Kongo, kelompok Sapeurs dikenal dengan parade busana penuh warna dan detail elegan, berakar dari pengaruh mode Paris.
Modern Dandyism
Dalam budaya populer masa kini, Black Dandyism yang dipilih pula sebagai dress code bagi para tamu MET Gala 2025 terus hidup melalui figur-figur publik yang mengaburkan batas antara maskulinitas dan mode mewah.
Sebut saja rapper A$AP Rocky, produser musik dan desainer Pharrell Williams, aktor Colman Domingo, hingga musisi André 3000, yang semuanya terlibat sebagai co-chair MET Gala bersama Anna Wintour, pemimpin redaksi majalah fashion Vogue sekaligus penyelenggara MET Gala. Mereka dikenal berani bermain dengan bentuk, warna, dan tekstur yang menantang konvensi.
Bicara tentang tokoh kulit hitam yang membawa pengaruh besar dalam dunia mode, tak lengkap rasanya tanpa menyertakan mendiang Andre Leon Talley. Mantan editor Vogue yang kerap disebut-sebut sebagai tangan kanan Anna Wintour itu wafat pada 2022 dan meninggalkan 50 koper Louis Vuitton.
Koleksi koper yang mendapat sentuhan personal dengan inisial 'ALT' itu termasuk dalam 200 objek yang dipamerkan di "Superfine: Tailoring Black Style". Menurut Monica, peninggalan tersebut melambangkan kesuksesan serta pengaruhnya di industri yang didominasi oleh para perempuan kulit putih. "Sebenarnya, ide utama untuk tema MET Gala ini muncul saat Andre meninggal," kata Andrew Bolton, kurator utama pameran.
Pameran yang terbagi ke dalam 12 area ini turut menyertakan benda milik Dapper Dan. Pria bernama asli Daniel Day ini desainer legendaris asal Harlem, New York, yang terkenal karena menciptakan pakaian mewah bergaya streetwear dengan mencetak ulang logo brand-brand high fashion seperti Gucci, Louis Vuitton, dan Fendi. Dilansir dari New York Times, Dapper Dan pada 1992 terpaksa menutup butiknya setelah digugat oleh Fendi atas alasan pelanggaran hak cipta. Namun kini, berbagai rumah mode ingin berkolaborasi dengannya.
Met Gala tahun ini yang disponsori oleh Louis Vuitton bukan hanya pertunjukan gaya, tetapi juga momen untuk merefleksikan bagaimana busana bisa menjadi bentuk pencatatan sejarah yang hidup. Lewat tema "Superfine," dunia diajak untuk memahami bahwa mode bukan hanya soal estetika, tetapi juga soal identitas, perlawanan, dan pembebasan.
Di tengah dunia mode yang kerap mengabaikan sejarah marginal, Met Gala kali ini menunjukkan bahwa superfine tailoring bisa menjadi cara untuk menjahit kembali narasi yang selama ini disisihkan.
Simak Video "Video: Kala Diana Rose Kenakan Gaun 5,4 Meter di Met Gala 2025"
(dtg/dtg)