Hari Batik Nasional mungkin terasa berbeda saat tahun-tahun awal setelah penetapannya oleh pemerintah pada 2009. Perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, kala itu tidak semasif seperti beberapa tahun belakangan. Lantas sejauh mana dunia digital berpengaruh terhadap upaya pelestarian batik sebagai sebuah warisan budaya? Apakah lebih berdampak positif atau sebaliknya?
Wolipop melemparkan pertanyaan tersebut kepada dua desainer beda generasi yang menaruh perhatian pada batik. Salah satunya, Era Soekamto yang pernah menjabat sebagai direktur kreatif Iwan Tirta Private Collection dan hingga saat ini tetap konsisten berkarya dengan kreasi batiknya sendiri lewat jenama pribadi.
"Batik sebenarnya tidak ada tren, tapi lebih ke perspektif dan reseptif orang-orang," ujar Era saat ditemui di Fashion Nation 2024 Senayan City baru-baru ini.
Ia menyoroti alasan di balik eksistensi batik yang tak lekang oleh waktu. Kendati demikian, lanjut Era, keberadaan batik hingga saat ini tak lepas dari andil perubahan cara orang mendapatkan dan menyebarkan informasi di tengah era digital.
"Sekarang banyak anak muda yang menggali dan bikin konten-konten tentang batik," ujar Era mengapresiasi ketertarikan generasi Z dan di bawahnya terhadap batik.
Batik dalam konteks industri kreatif dilihatnya juga terus bergeliat karena pengaruh Instagram, TikTok, dan kawan-kawan.
"Sekarang bermunculan banyak luxury brand atau galeri yang menjual batik. Perajin sekarang juga bisa menjual produknya langsung lewat media sosial," ungkap perempuan kelahiran 1976 di Lombok itu.
Di sisi berseberangan, media sosial ikut membuka wawasan para perajin batik. Mereka yang dulu 'terisolasi' dari perkembangan mode, kini lebih mudah terpapar dengan tren mode berkat unggahan yang berseliweran di lini masa sehingga memberi inspirasi untuk menciptakan koleksi yang relevan dengan selera pasar tanpa harus bermitra dengan desainer seperti sebelumnya.
Memangkas jalur distributor atau pihak ketiga seperti perancang mode, perajin dapat menjual batiknya dengan harga yang bisa menjangkau lebih banyak konsumen.
"Dampak negatifnya, buat bisnis, tentu mengganggu harga. Standarisasi harga tidak ada. Sekarang, batik tulis, motif desainer, bisa dibeli dari harga Rp 1 jutaan," kata Era.
Ia mengingatkan, dengan perputaran informasi yang lebih cepat dan persaingan yang makin ketat, ada baiknya para pemain memiliki kesadaran diri untuk meningkatkan kapasitasnya agar terhindar dari kejenuhan pasar. "Kalau market sudah terlalu saturated, seperti yang mereka rasakan pada batik lasem, kita harus cepat-cepat cari cara scale-up," tuturnya.
Wilsen Willim, perancang muda sekaligus junior Era di Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) atau Indonesian Fashion Design Council (IFDC), sependapat dengan Era. Seperti apa pandangannya? Baca di artikel berikutnya.
Simak Video "Video: Cara Diaspora Indonesia di Tunisia Peringati Hari Batik Nasional "
(dtg/dtg)