Jauh sebelum isu sustainable fashion menggaung, budaya Indonesia sebenarnya sudah lama mengenal teknik pewarnaan alami yang ramah lingkungan. Namun, geliat industri sempat menggantinya dengan warna kimiawi yang sebenarnya tak hanya berbahaya bagi alam, tapi juga manusia.
"Tanpa disadari, kita sedang meracuni negeri sendiri," ujar Dr. Cut Kamaril Wardhani selaku Pengurus Cita Tenun Indonesia (CTI) Bidang Penelitian dan Pengembangan dalam diskusi 'Rona.Rasa.Rupa', Selasa (25/6/2024).
Kegiatan yang digelar di CTI Gallery, Dharmawangsa, Jakarta Selatan, membahas seluk-beluk pewarnaan alami untuk produk wastra Nusantara, terkhusus tenun.
Ibu Maril, begitu sapaan akrabnya, sempat menyoroti penggunaan naftol, salah satu bahan kimiawi untuk pakaian, yang peredarannya masih marak di Indonesia meski sudah dilarang karena berbahaya bagi kesehatan manusia dan alam.
"Tapi karena faktor ekonomi, harganya sangat murah sehingga bisa menekan biaya produksi, naftol masih tetap beredar," ujarnya.
Ia juga mengatakan, keragaman kain indonesia mulai mendapat apresiasi dari masyarakat. Batik hingga tenun semakin dikenal. Sayangnya, popularitas yang meningkat tersebut tidak berbanding dengan edukasi tentang betapa Indonesia kaya akan warna-warna alami untuk kain.
Dicontohkannya biru indigo, salah satu warna alami yang mendominasi pasaran. Tanaman indigo, kata Meril, dapat menghasilkan biru yang berbeda-beda di setiap daerah.
"Tanamannya satu, tapi warna biru indigo di NTT dan Jawa bisa beda karena unsur hara tanah yang tidak sama. Faktor iklim juga sangat berpengaruh," kata alumnus Institut Teknologi Bandung itu.
Itu berarti sangat besar peluang untuk memberdayakan lebih lagi warna alam untuk kain-kain Indonesia. Eksis sejak 16 tahun lalu, CTI konsisten mengadakan pelatihan teknik pewarnaan alami kepada para perajin di daerah-daerah
Pengurus CTI Bidang Quality Control Dhanny Dahlan mengaku tak mudah untuk meyakinkan perajin agar beralih dari pewarnaan sintetis ke alami.
Mereka sudah 'terjebak' dalam zona nyaman bahwa warna sintetis lebih menguntungkan karena murah, dan warnanya juga lebih menarik.
"Mereka menangis, kami pun menangis karena sama-sama frustasi. Tapi kuncinya sabar," seloroh Dhanny saat menceritakan pengalamn CTI mengadakan pelatihan di sebuah dearah di Sulawesi Tenggara.
Belajar dari pengalaman, lanjut mantan peragawati era 80-an itu, butuh 4-5 pertemuan hingga akhirnya para perajin mantab menggunakan pewarnaan alami.
Biasanya, mereka semakin semangat setelah melihat karya mereka naik pentas di perhelatan akbar mode ibu kota.
Apalagi jika kain tersebut terjual. Menurut Meril, salah satu keuntungan natural dyeing adalah menambah nilai jual kain.
"Rata-rata 20 persen lebih mahal dari kain berwarna kimiawi," ungkap Meril.
Supaya hasil lebih maksimal, ia menyarankan proses penenunan dan pewarnaan benang dilakukan oleh orang yang berbeda. "Idealnya seperti itu, tapi kebanyakan daerah belum bisa. Kalau di Kabupaten Dairi (Sumatera Utara), kami menyarankan untuk membuat UKM yang terpisah agar lebih fokus," katanya.
Simak Video "Tips Merawat Kain Tenun Berbahan Pewarna Alam Agar Awet"
(dtg/dtg)