Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Liputan Khusus Kemiripan di Dunia Mode

Mengenal Seni 'Meniru' dari Sejarahnya

Ferdy Thaeras - wolipop
Jumat, 14 Nov 2014 09:34 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Dok. Getty Images
Jakarta -

Saat ini, dunia mode Indonesia sedang ramai membicarakan tentang sebuah akun Instagram yang mengumpulkan sejumlah karya desainer Indonesia yang mirip dengan desainer internasional. Tanpa perlu menyebut akun tersebut, sudah banyak pemilik media sosial yang mengunggah ulang foto-foto dari Instagramnya dan menjadi pembicaraan banyak orang khususnya penikmat mode. Banyak dari mereka yang menganggapnya hanya sekedar angin lalu, tak menghiraukannya, ada yang prihatin namun membela desainer Indonesia karena hanya sebatas mirip, namun ada juga yang begitu bersemangat menyerang desainer tertentu dengan komentar yang pedas.

Seperti biasa, media sosial memiliki efek domino yang begitu besar dan cepat di era modern ini. Informasi begitu cepat didapat hanya dengan menilai sebuah foto tanpa banyak menilik terlebih dahulu kisah di balik itu, atau bahkan membaca lebih detail apa keterangan foto yang tertera meskipun sebuah kabar sudah benar dan faktual. Semua juga bergantung dari tingkat kecerdasan emosional maupun intelektual yang menerima informasi dan mencernanya menjadi sebuah pandangan.

Sebelum menunjuk jari kepada orang lain atas dasar penjiplakan, plagiarisme, mencontek, atau apapun istilah yang digunakan, banyak orang harus tahu bahwa kreativitas dan seni pada dasarnya adalah meniru. Sebagai salah satu lulusan Fakultas Seni Rupa dari Institut Kesenian Jakarta, saya sebagai murid seni rupa diajarkan bahwa seni adalah Mimesis yang dalam bahasa Yunani berarti meniru. Meniru keindahan alam dan kemudian menjadikannya menjadi sebuah karya seni. Contohnya sebuah pemandangan gunung yang begitu indah lalu ia menginspirasi seseorang dan kemudian menirunya di sebuah medium seni. Sang seniman pun menciptakan karya yang didasari dari meniru keindahan alam tersebut dengan versinya sendiri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Subjek ini tentunya menjadi perbincangan panas bagi para penikmat seni, bagi mereka yang masih pemula seperti para mahasiswa maupun mereka yang sudah berkarya dan menjalani suka duka akan proses kreativitas. Batasan antara mencontek dan terinspirasi pun menjadi bias, tentunya di tangan mereka yang malas bereksplorasi. Kreativitas bukanlah hal mudah seperti yang terlihat dari film-film, bahwa dengan hitungan detik ia bisa datang dari mana saja dan kemudian diubah menjadi sebuah karya orisinil. Terlebih bagi manusia yang hidup di saat ini, dimana hampir semuanya sudah dilakukan dan hanyalah sebuah proses repetisi dan peremajaan dari yang sudah ada dari masa sebelumnya.

Fashion, musik, film dan segala unsur kreatif lainnya berkembang dari masa ke masa, mulai dari Michaelangelo dan Leonardo Da Vinci sebagai pionir di masanya dan kemudian bermunculan nama-nama lain yang mewakili eranya masing-masing. Setiap seniman ingin mengukir nama di sejarah dengan karya yang orisinil dan brilian namun semua itu tak akan terealisasi tanpa adanya inspirasi. Inspirasi datang selain dari alam, juga datang dari karya orang lain.

Karya orang bisa memberikan inspirasi, mulai dari ingin membuat yang serupa atau juga yang bertolak belakang dari apa yang dilihatnya. Tapi kembali lagi, semua diawali dari inspirasi awal yang datang. Dunia fashion ibaratnya sebuah sekolah yang punya pimpinan dimana tren mode dicetuskan oleh kepala sekolah yang akrab disebut sebagai sindikasi tren mode bernama WGSN (World Global Style Network). Jadi tidaklah heran jika selalu aja ada benang merah dari berbagai desainer. Tren mode ini dicetuskan oleh sindikasi tersebut dan diterjemahkan oleh para desainer dengan pandangannya masing-masing.

Fashion memiliki empat kota mode dunia yang berpengaruh kepada kelangsungan mode di seluruh dunia. Mereka yang bisa menciptakan karya brilian di empat kota mode tersebut tentu akan menjadi sorotan dunia, namun hal itu tidaklah mudah. Ada puluhan desainer yang tergabung dalam pekan mode resmi namun nama mereka sangat asing terdengar lantaran karyanya tidak diekspos media dengan maksimal. Tak terekspos karena karyanya hanya sebatas bagus dan bisa dipakai, namun tidak memiliki elemen heboh dan sensasi yang menjadi buah bibir.

Alexander McQueen contohnya, almarhum desainer ini pernah disebut sebagai pembenci wanita karena karyanya kerap merendahkan wanita dengan busana serba terbuka dan cenderung menjadi objek seks. Namun hal inilah yang menjadi daya tarik dan memiliki esensi drama. Mau tak mau, media terus mengekspos dan mengikutinya dan lambat laun ia memperlihatkan bahwa dirinya juga bisa menciptakan karya yang brilian. Jumlah penggemar desainer ini pun tak terhitung karena ia selalu memberikan inspirasi baru di setiap musim.

Kembali pada plagiarisme di mana banyak orang menilai tidak ada yang baru di dunia fashion memang benar adanya. Segalanya hanya masalah repetisi dan meremajakan kembali apa yang sudah ada. Begitu terkesimanya seorang seniman akan sebuah karya, ia bisa saja kebablasan mengambil segala elemen dan menuangkannya secara harfiah dan menyeluruh. Namun perlu dicatat, harus ada sesuatu yang dikembangkan dan menjadikannya berbeda. Mereka yang malas juga bisa dilihat karyanya karena tidak ada sesuatu yang baru dan secara garis besar meniru persis apa yang ada.

Hal ini bisa jadi perdebatan tersendiri jika dilakukan oleh brand fashion dunia. Sebut saja desainer Olivier Rousteing dari rumah mode Balmain 2015 yang dituduh meniru rancangan Alexander McQueen yang saat itu mendesain untuk rumah mode Givenchy 1997. Adapula desainer Phoebe Philo yang dituduh meniru rancangan Geoffrey Beene 2004 untuk koleksi Celine 2013. Desainer Karl Lagerfeld pun syok melihat fenomena ini, namun pemerhati mode melihat ada kemiripan namun dari sisi garmen yang dipakai dan warna memang berbeda.

Tanpa langsung menuduh Celine mencontek, orang yang mengunggah perbandingan tersebut dipertanyakan mendetail. Ia menjawab mungkin pihak Celine terinspirasi oleh Beene namun memang ada pengembangan desain dari model dari awal sampai akhir dan bukan yang tiba-tiba meniru satu potong tanpa ada kesatuan desain. Dan setelah diteliti, desainnya memang berbeda, di karya Beene, busana difoto dengan posisi lengan terikat, sedangkan di karya Celine foto itulah yang menjadi inspirasi dan lubang lengan dibuat berbeda di bagian samping.

Sebelum menilai seseorang menjiplak atau plagiat, harus perhatikan dahulu asal-usul karya asli maupun baru, proses desain yang dibuktikan dari karya lainnya yang memiliki benang merah, hingga tingkat kemiripan. Tidak bisa dipungkiri, desainer ternama sekalipun hobi membeli modeblat kumpulan karya desainer dunia, hanya sekedar untuk informasi, pembanding dan sumber inspirasi. Pada akhirnya selalu terlihat jelas mana yang terinspirasi dan mana yang malas dan kemudian menyontek. Semua itu juga hadir dengan konsekuensi reputasi nama baik yang tercemar.

(fer/asf)

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Artikel Terkait
Detiknetwork
Hide Ads