Silent Divorce, Tanda Pasangan Mengalami Perceraian Emosional

Jakarta - Meski masih tinggal serumah dan terlihat seperti baik-baik saja, banyak pasangan ternyata sudah tidak terhubung secara emosional. Fenomena ini dikenal dengan sebutan silent divorce atau cerai secara emosional, dan jumlahnya semakin banyak terjadi di tengah tekanan kehidupan modern.

Perceraian emosional terjadi ketika dua orang yang masih terikat secara hukum sebagai suami istri, namun secara batin sudah merasa seperti orang asing. Mereka berhenti terhubung secara emosional, jarang berkomunikasi dengan mendalam, bahkan keintiman fisik pun bisa menghilang.

Salah satu contohnya adalah pasangan di Florida, AS yang tetap tinggal satu rumah selama setahun setelah berhenti tidur sekamar. Mereka membesarkan anak bersama dan dari luar tampak normal. Namun, di dalam rumah, hubungan sudah tidak lagi hangat.

Apa Sebenarnya Silent Divorce?

Menurut Stephanie Moir, konselor kesehatan mental di Florida, silent divorce adalah kondisi ketika pasangan belum berpisah secara hukum, tapi secara mental, emosional, dan sering kali fisik, mereka sudah terpisah.

"Ini bukan sesuatu yang terlihat di atas kertas, tapi sangat terasa secara pribadi. Dan karena tidak dibicarakan secara terbuka, perceraian emosional bisa terasa sangat sepi," jelasnya, seperti dikutip dari CNN.

Tidak adanya pertengkaran bukan selalu tanda hubungan baik. Menurut Justin Ho, konselor dari Georgia, bertengkar bisa jadi pertanda masih ada usaha dan kepedulian dalam hubungan. Mereka hanya berbicara soal hal-hal praktis, menghindari topik yang dalam atau emosional.Lama-lama, ini bisa membuat salah satu atau kedua pihak merasa kesepian, bahkan menyimpan dendam.

"Pasangan yang tidak bertengkar sama sekali mungkin sebenarnya sudah tidak peduli," katanya.

Ciri-ciri pasangan silent divorce adalah pasangan tidak lagi memiliki tujuan bersama, lebih sering pergi secara terpisah, Keintiman fisik hilang, bahkan sekadar sentuhan pun tak lagi ada. Ciri lainnya adalah komunikasi sudah tidak intim lagi, hanya sekadar urusan anak atau rumah dan lebih seperti 'teman serumah' dibanding pasangan.

Lisa Lavelle, terapis pasangan di New York, menambahkan bahwa pasangan dalam perceraian emosional sering terlihat 'berfungsi' dengan baik. Mereka bisa mengurus anak, bekerja sama dalam logistik, tapi secara emosional sangat jauh.

"Fokus mereka bergeser sepenuhnya ke peran sebagai ayah dan ibu, bukan lagi sebagai suami dan istri," jelasnya.

Silent divorce tak hanya berdampak pada pasangan, tapi juga anak-anak. Anak bisa merasakan ketegangan, walaupun tidak ada pertengkaran terbuka. Mereka bisa merasa bingung, cemas, atau bahkan seperti harus memilih pihak.

Secara keuangan, tetap menikah secara hukum tapi secara emosional sudah berpisah juga bisa berisiko. Jika pasangan terlibat dalam masalah hukum atau utang, pasangannya tetap bisa ikut terdampak secara hukum.

Apa yang bisa dilakukan jika pernikahan mengalami silent divorce? Langkah pertama adalah berani membuka percakapan. Tanyakan pada pasangan: "Apakah kamu juga merasa ada yang berubah?"

Percakapan ini mungkin tidak nyaman, tapi penting untuk menentukan apakah hubungan masih bisa diperbaiki. Jika sulit melakukannya sendiri, pertimbangkan bantuan dari konselor atau terapis pasangan.

"Terapi bukan hanya untuk menyelamatkan hubungan. Tapi untuk membantu pasangan berbicara tentang hal-hal yang sulit mereka ungkapkan," kata Lavelle. (kik/kik)