Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network

Mempertanyakan Relevansi Perayaan Hari Kartini dan Berkebaya

Daniel Ngantung - wolipop
Senin, 21 Apr 2025 08:34 WIB

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Sejumlah perempuan mengenakan baju adat daerah saat parade Hari Kartini di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB), kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (20/4/2025).
Sejumlah perempuan mengenakan baju adat daerah saat parade Hari Kartini di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB), kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (20/4/2025). (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April lumrah dirayakan oleh hampir sebagian para perempuan Indonesia dengan berkebaya. Ada pesan nasionalisme dan bangga pada kebudayaan Indonesia yang tersirat sembari merayakan sosok Kartini. Di satu sisi, kebaya bisa saja mereduksi makna emansipasi perempuan yang diperjuangkan Kartini semasa hidupnya.

'Tradisi' memakai kebaya sepertinya sudah sangat melekat pada perayaan Hari Kartini sejak era presiden pertama RI Soekarno. Dialah yang secara resmi menetapkan 21 April, yang adalah tanggal lahir Raden Ajeng Kartini (1879-1904), sebagai Hari Kartini, berdasarkan Keppres No. 108 Tahun 1964.

(Original Caption) 6/1953-Jakarta, Indonesia- A meeting was organized at the Presidential Palace on the occasion of the commemoration of Ratusan wanita berkebaya saat menghadiri acara peringatan sosok Kartini di Istana Kepresidenan pada 1953. (Foto: Bettmann Archive/Getty Images)

Sebelum itu, merujuk pada sebuah arsip foto dari tahun 1953, Soekarno sempat menggelar kegiatan di istana kepresidenan untuk memperingati Kartini. Mengenakan setelan modern serba putih, Soekarno duduk di tengah para perempuan yang semuanya berbalut kebaya lengkap dengan selendang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selama puluhan tahun, sangat disayangkan bahwasanya Kartini itu hanya dilihat dari apa yang dipakainya," ujar Lynda Ibrahim, penulis sekaligus konsultan bisnis, kepada Wolipop baru-baru ini ketika ditanya soal caranya memaknai Hari Kartini.

Ia kemudian mengungkit konsep 'Ibuisme' dalam buku 'State Ibuism' yang ditulis oleh aktivis dan akademisi Julia Suryakusuma. Buku tersebut memuat kritik penulis terhadap program pemerintah orde lama dan orde baru yang bertujuan memberdayakan perempuan atas nama pembangunan, tapi pada kenyataan menempatkan perempuan sebagai sosok ibu rumah tangga pasif yang hanya bisa melakukan urusan domestik, berdandan cantik, salah satunya dengan berkebaya.

ADVERTISEMENT
Dua anak bermain skateboard dengan mengenakan busana kebaya di Denpasar, Bali, Minggu (20/4/2025). Kegiatan itu diselenggarakan untuk memeriahkan peringatan Hari Kartini sekaligus mengajak para perempuan khususnya generasi muda untuk terus berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nym.Dua anak bermain skateboard dengan mengenakan busana kebaya di Denpasar, Bali, Minggu (20/4/2025). Kegiatan itu diselenggarakan untuk memeriahkan peringatan Hari Kartini sekaligus mengajak para perempuan khususnya generasi muda untuk terus berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. (Foto: ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)

"Saya selalu merasa Indonesia disetir oleh Soekarno dan Soeharto untuk memaknai Ibu Kartini sebagai sosok perempuan anggun yang kebetulan berkebaya," ujar Lynda yang pernah terlibat dalam pembuatan dokumenter tentang kebaya yang digarap oleh Mediacorp Singapura.

Tulisan Vissia Ita Yulianto dalam kolom opini The Jakarta Post dengan judul 'Is Celebrating Kartini's Day Still Relevant Today?' (terbit pada 21 April 2010) turut menyampaikan keironisan tersebut. Menurut peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara dan dosen di Magister Manajemen Pendidikan Tinggi, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada itu, pemaknaan hari Kartini mengalami puncak kemunduran di bawah pemerintahan Soeharto.

"Ketika Orde Baru berkuasa, sosok Kartini mengalami distorsi makna: dari seorang pembongkar sistem patriarkal, tradisional, dan kolonial menjadi - sebagaimana tercermin dalam lagu nasional Kartini - 'putri sejati'. Transformasi ini tentu merepresentasikan legitimasi atas penarikan perempuan dari ranah publik untuk kembali ditempatkan dalam urusan domestik," tulisnya.

Maka dari itu, perayaan Hari Kartini harus dimaknai lebih dari sekadar berkebaya. Lynda berpendapat, sudah semestinya semangat radikalisme Kartini dalam melawan budaya patriarki, memperjuangkan kesetaraan hak perempuan, terutama dalam memeroleh akses pendidikan, yang menjadi pesan esensial untuk diangkat.

"Kalau kita bicara Kartini, harusnya kita juga bicara tentang surat-suratnya yang begitu membara soal perempuan yang tidak bisa sekolah, dia juga memprotes kenapa peran wanita hanya untuk melahirkan, serta segala pemberontakannya," tuturnya. Belum lama ini, UNESCO mengumumkan surat-surat Kartini dan empat warisan dokumenter Indonesia lainnya telah diakui sebagai Memory of the World (MOW).

Koleksi Terbaru Wilsen WillimKoleksi kebaya terbaru rancangan Wilsen Willim dipresentasikan pada Kamis (17/4/2025) untuk menyambut Hari Kartini. (Foto: Dok. Wilsen Willim)

Dalam konteks fashion, tak dapat dipungkirinya bahwa perayaan Hari Kartini memberi dampak positif seiring semakin banyak perempuan Indonesia yang menaruh minat pada kebaya sebagai busana nasional. Kebaya kini tak hanya dipakai untuk acara-acara formal, tapi juga untuk berkegiatan sehari-hari. Semakin banyak pula desainer Tanah Air yang termotivasi untuk menggarap kebaya dalam kreasinya sehingga kebaya tetap relevan dengan perkembangan zaman.

"But if you ask me, perayaan Kartini harusnya beyond of that. Kita masih belum lepas dari bayang-bayang bagaimana Orde Lama dan Orde Baru mengkonstruksikan Hari Kartini," ungkap Lynda yang memilih untuk berkebaya di luar Hari Kartini.

(dtg/dtg)

Anda menyukai artikel ini

Artikel disimpan

Artikel Fokus Selanjutnya
Artikel Terkait
Wolipop Signature
Detiknetwork
Hide Ads