Prancis bersiap menjadi negara pertama yang secara tegas menindak jenama-jenama ultra fast-fashion secara hukum untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Rancangan undang-undang (RUU) yang mengaturnya sudah mendapat lampu hijau.
Pekan lalu, RUU tersebut berhasil mengumpulkan suara terbanyak dari Mahkamah Terendah Prancis untuk segera diajukan ke Senat. Berbagai sanksi harus siap dihadapi para produsen jika akhirnya RUU disahkan.
Peraturan yang diusulkan mencakup pemberian denda hingga 10 euro untuk setiap pakaian yang diproduksi, berlaku mulai 2030, dan pelarangan iklan yang mempromosikannya.
Paris, ibukota Prancis, merupakan tempat kelahiran haute couture atau adibusana, strata tertinggi dalam hal kualitas yang mengedepankan seni pembuatan pakaian. Eksistensi tersebut tak lepas dari para pionir seperti Christian Dior, Coco Chanel, Cristobal Balenciaga, Pierre Balmain, dan Hubert Givenchy.
Namun, Paris yang selama ini menjadi kiblat mode dunia harus bersaing dengan jenama fast-fashion seperti Shein dari China atau Zara asal Spanyol yang mulai mendominasi pasar.
Menteri Lingkungan Prancis Christophe Béchu menegaskan bahwa peraturan ini dibuat bukan karena soal persaingan bisnis, melainkan demi mengurangi kerusakan alam yang disebabkan oleh industri fashion.
"Sebuah langkah besar telah dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari sektor tekstil," tulisnya di X. Menurutnya, baru Prancis yang berani menempuh tindakan tersebut.
Lebih lanjut tertulis dalam RUU tersebut bagaimana kehadiran fast-fashion sangat mengancam di segala tatanan hidup.
"Evolusi sektor pakaian menuju fashion yang bersifat sementara, yang menggabungkan peningkatan volume dan harga murah, memengaruhi kebiasaan membeli konsumen dengan menciptakan dorongan membeli dan kebutuhan konstan untuk pembaruan, yang bukannya tanpa konsekuensi lingkungan, sosial, dan ekonomi," demikian seperti dikutip Reuters.
Menurut laporan State of Fashion keluaran konsultan McKinsey sebagaimana dikabarkan CNN, industri fashion menyumbang setidaknya 3-5 persen emisi karbon global.
Adapun, Refashion, grup nirlaba yang ditunjuk Pemerintah Prancis untuk mengorganisir program layanan perbaikan pakaian, menyebut 3,3 miliar pakaian, produk rumah tangga berbahan linen, dan sepatu beredar di pasar Prancis pada 2022. Sementara itu, Kementerian Ekologi Prancis melaporkan penduduknya membuang 700.000 pakaian, 2/3 di antaranya berakhir di TPA, setiap tahun.
Merespons RUU tersebut, Shein mengeluarkan pernyataan bahwa pakaian yang diproduksi memenuhi permintaan yang ada sehingga tingkat pakaian yang tidak terjual tetap rendah satu digit, berbeda dari pesaingnya yang menghasilkan hingga 40 persen limbah.
Ditambahkan pula bahwa justru RUU tersebut bakal memperburuk daya beli konsumen Prancis ketika biaya hidup mahal semakin mahal.
Simak Video "Video: Jawaban Jenna Ortega saat Ditanya 'Siapa Pahlawanmu Hari Ini?'"
(dtg/dtg)