Foto: Pesona Kain Tenun-Batik Sutra Eri, Ada Motif Pasir Berbisik

Mendirikan KaIND pada 2015, Melie Indarto fokus menggarap kain tenun-batik yang terbuat dari serat sutra eri yang ramah lingkungan. Meski berbasis di Jakarta, Melie memberdayakan petani sutra hingga perajin kain di kampung halamannya, Pasuruan, Jawa Timur. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Mendirikan KaIND pada 2015, Melie Indarto fokus menggarap kain tenun-batik yang terbuat dari serat sutra eri yang ramah lingkungan. Meski berbasis di Jakarta, Melie memberdayakan petani sutra hingga perajin kain di kampung halamannya, Pasuruan, Jawa Timur. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Sambil menyelam minum air, KaIND merupakan wujud komitmen Melie pada sustainable fashion sekaligus kepeduliannya untuk memperkenalkan khazanah wastra Pasuruan sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Alam menjadi sumber inspirasi utama untuk motif-motif tersebut. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Sambil menyelam minum air, KaIND merupakan wujud komitmen Melie pada sustainable fashion sekaligus kepeduliannya untuk memperkenalkan khazanah wastra Pasuruan sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Alam menjadi sumber inspirasi utama untuk motif-motif tersebut. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Ditemui Wolipop di kawasan Jakarta Barat belum lama ini, Melie menuturkan bahwa Pasuruan memiliki berbagai tumbuhan khas yang kemudian dituangkannya ke dalam motif batik. Salah satunya sedap malam (Polianthes tuberosa). “Pasuruan merupakan salah satu kota pemasok sedap malam di Indonesia. Kalau ke sana, kiri-kanannya banyak pertanian sedap malam, ujar Melie. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Ditemui Wolipop di kawasan Jakarta Barat belum lama ini, Melie menuturkan bahwa Pasuruan memiliki berbagai tumbuhan khas yang kemudian dituangkannya ke dalam motif batik. Salah satunya sedap malam (Polianthes tuberosa). “Pasuruan merupakan salah satu kota pemasok sedap malam di Indonesia. Kalau ke sana, kiri-kanannya banyak pertanian sedap malam," ujar Melie. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Ia juga mengangkat motif bunga serunai (Chrysanthemum). Menurutnya, bunga serunai di Pasuruan lebih beragam warnanya ketimbang daerah lain di Indonesia. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Ia juga mengangkat motif bunga serunai (Chrysanthemum). Menurutnya, bunga serunai di Pasuruan lebih beragam warnanya ketimbang daerah lain di Indonesia. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Motif berbentuk daun sri rejeki (Aglaonema) turut diaplikasikan lantaran, kata Melie, masyarakat Pasuruan memercayai menanam tanaman tersebut di rumah dapat mendatangkan rejeki. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Motif berbentuk daun sri rejeki (Aglaonema) turut diaplikasikan lantaran, kata Melie, masyarakat Pasuruan memercayai menanam tanaman tersebut di rumah dapat mendatangkan rejeki. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Tak hanya tumbuhan, Melie mengeskplor pula keunikan lanskap Pasuruan. Ia mengembangkan motif yang dinamainya Pasir Berbisik setelah terilhami oleh padang pasir di Gunung Bromo. Motif tersebut menjelma dalam bentuk bunga dengan latar taburan bintik-bintik yang menyerupai pasir. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Tak hanya tumbuhan, Melie mengeskplor pula keunikan lanskap Pasuruan. Ia mengembangkan motif yang dinamainya Pasir Berbisik setelah terilhami oleh padang pasir di Gunung Bromo. Motif tersebut menjelma dalam bentuk bunga dengan latar taburan bintik-bintik yang menyerupai pasir. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Tidak ketinggalan aksen-aksen yang menyerupai salju. “Karena di Pasuruan hawanya dingin,” kata perempuan kelahiran September 1989 ini.  Ada pula corak seperti aliran air yang mengingatkannya pada sungai-sungai di kampung halaman. Semua warna didapat dengan teknik pewarnaan alam yang ramah lingkungan. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Tidak ketinggalan aksen-aksen yang menyerupai salju. “Karena di Pasuruan hawanya dingin,” kata perempuan kelahiran September 1989 ini.  Ada pula corak seperti aliran air yang mengingatkannya pada sungai-sungai di kampung halaman. Semua warna didapat dengan teknik pewarnaan alam yang ramah lingkungan. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Berbekal pendidikan formal fashion-design dari sebuah sekolah mode di Surabaya, ibu satu anak ini yang mendesain sendiri corak hingga produk KaIND. Cara Melie menginterpretasikan inspirasinya dengan estetika minimalis membuat kreasi KaIND yang terdiri dari produk scarf, ready-to-wear, hingga aksesori rumah  terasa modern dan kekinian demi menarik konsumen yang lebih muda. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Berbekal pendidikan formal fashion-design dari sebuah sekolah mode di Surabaya, ibu satu anak ini yang mendesain sendiri corak hingga produk KaIND. Cara Melie menginterpretasikan inspirasinya dengan estetika minimalis membuat kreasi KaIND yang terdiri dari produk scarf, ready-to-wear, hingga aksesori rumah  terasa modern dan kekinian demi menarik konsumen yang lebih muda. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Melie menggunakanan serat sutra eri yang dibudidayakan secara etis, tanpa membunuh pupa karena sudah dikeluarkan sebelum kepompong direbus. Teknik ini dinamai Peace Silk. “Ekosistem Peace Silk di Indonesia belum terbentuk karena masih banyak petani yang menggunakan praktik lama,” katanya. Komitmen Melie pada sutra eri beretika ini akhirnya mengantarkannya sebagai juara 1 Pengusaha Muda BRILian (PMB) dan berhak mendapatkan pemodalan sebesar Rp 200 juta. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Melie menggunakanan serat sutra eri yang dibudidayakan secara etis, tanpa membunuh pupa karena sudah dikeluarkan sebelum kepompong direbus. Teknik ini dinamai Peace Silk. “Ekosistem Peace Silk di Indonesia belum terbentuk karena masih banyak petani yang menggunakan praktik lama,” katanya. Komitmen Melie pada sutra eri beretika ini akhirnya mengantarkannya sebagai juara 1 Pengusaha Muda BRILian (PMB) dan berhak mendapatkan pemodalan sebesar Rp 200 juta. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Benang sutra kemudian diolah menjadi kain tenun dengan dua teknik, yakni menggunakan ATBM (alat tenun bukan mesin) dan mesin, sebelum akhirnya perajin membatiknya. Kombinasi teknik tenun tersebut memungkinkan produk KaIND lebih terjangkau dari segi harga. Untuk scarf, harganya berada di kisaran Rp 200.000-Rp 400.000. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

Benang sutra kemudian diolah menjadi kain tenun dengan dua teknik, yakni menggunakan ATBM (alat tenun bukan mesin) dan mesin, sebelum akhirnya perajin membatiknya. Kombinasi teknik tenun tersebut memungkinkan produk KaIND lebih terjangkau dari segi harga. Untuk scarf, harganya berada di kisaran Rp 200.000-Rp 400.000. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

“Aku pengin KaIND inklusif, bukan eksklusif. Setidaknya masih bisa dibeli young professional yang pengin punya produk kain hand-made tapi gak ada bujet jutaan rupiah. Semoga dengan begitu, makin banyak orang yang mengapresiasi wastra Indonesia, kata Melie yang juga mengekspor produk KaIND ke Singapura, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)

“Aku pengin KaIND inklusif, bukan eksklusif. Setidaknya masih bisa dibeli young professional yang pengin punya produk kain hand-made tapi gak ada bujet jutaan rupiah. Semoga dengan begitu, makin banyak orang yang mengapresiasi wastra Indonesia, kata Melie yang juga mengekspor produk KaIND ke Singapura, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat. (Foto: Daniel Ngantung/detikcom)