Batik ecoprint merupakan salah satu jenis batik yang metode pembuatannya memanfaatkan pewarna alami dari tanin atau zat warna daun, akar atau batang yang diletakan pada sehelai kain, kemudian kain tersebut direbus. Foto: Ari Saputra/Detikcom.
Indonesia Fashion Week 2023 menampilkan 400 peserta pameran dan 200 desainer. Salah satu desainer itu adalah Iko Butoni yang menghadirkan batik ramah lingkungan. Foto: Ari Saputra/Detikcom.
Iko mengatakan biasanya orang lebih cenderung berbusana casual dan urban. "Pemikiran saya kita juga harus menampilkan dunia luar, ini juga bisa dipakai daily wear. Makanya saya mencari sisi lain koleksi ecoprint dengan bahan sutera, brokat dan semuanya dari Indonesia," kata Iko Butoni saat ditemui Wolipop di Indonesia Fashion Week 2023 (22/2/2023). Foto: Ari Saputra/Detikcom.
Iko ingin agar desainer lainnya yang menggunakan teknik ecoprint. "Ini dapat menggairahkan teman-teman desainer karena bisa mengembangkan ecoprint. Karena selama ni yang casual agak salah dipadukan, atas ecoprint, bawah, jaket dan ditabrakkan jadi jelek sekali jadi tidak indah, seandainya satu karya secara sederhana dengan satu sentuhan bisa menginspirasi karena saya tergabung komunitas ecoprint," jelas Iko. Foto: Ari Saputra/Detikcom.
Iko mendukung para pengrajin ecoprint yang mayoritas ibu rumah tangga. Mereka diajari dan tekuni tapi tidak menemukan jalan karena tidak ada akses. "Sebetulnya usia ecoprint saya lebih junior tapi karya saya sejak tahun 1983 perusahaan saya ke Hongkong, saya eksport ke 40 negara secara massal. Permodel saya menerima 2000-3000 per model," kata Iko. Foto: Ari Saputra/Detikcom.
Iko ingin menampilkan koleksi ecoprint dengan cara yang berbeda. Dia ingin menciptakan karya yang ramah lingkungan. "Tahun 2010 ke atas kondisi ekonomi saya sudah berubah dan saya merasa saya tidak ingin menekuni sesuatu yang bentuknya massal dan merusak lingkungan. Seperti high dan fast fashion, saya memilih slow fashion dan mendedikasi pengalaman saya sendiri bisa digunakan untuk teman-teman pengrajin (ecoprint)," tuturnya. Foto: Ari Saputra/Detikcom.
Iko lulusan Sastra Universitas Indonesia, sebelum menjadi perancang busana. Iko awalnya terpilih dalam mencarian pramugari. "Anak sastra rambutnya cepak dan tidak tahu makeup, mungkin ini yang menarik mereka karena pola pikir mereka saya tidak akan diterima karena saingan saya pakaiannya bagus dan cantik. Saya tidak mau ikut, jadi saya malah setiap test saya lulus dan menjadi pramugari," sautnya. Foto: Ari Saputra/Detikcom.
Selama lima tahun menjadi pramugari, pekerjaan itu bertolak belakang dengan passionnya. "Saya harus serve orang, itu bukan jiwa saya. Saya lima tahun jadi pramugari sembari bawa perkakas dan standby belajar di tempat potong baju. Saya langsung ke Inggris belajar ke London College of Fashion, dimana mba Ghea, Biyan dan Hary Gunawan juga keluaran sana," tuturnya. Foto: Ari Saputra/Detikcom.
Dia menceritakan awal mula menjadi perancang busana. "Sesudah itu saya bekerja di Jerman. Tahun 1983 saya kembali ke Hongkong untuk membuka usaha saya. Itu lah permulaan karier saya. Tidak hanya bisa ilustrasi, tapi saya mempelajari dan membuat segala pola sendiri, pemecahan polanya juga," kata Iko. Foto: Ari Saputra/Detikcom.
"Dan saya kaget kali ini saya menutup perusahaan di Hongkong dan mengembalikan semuanya ke Indonesia tepatnya di Bali. Saya kaget sekali, penjahit padahal mengajar tapi tidak bisa memecah pola. Ada dua koleksi yang harus out karena saya malu dan akan mencari penjahit sudah lebih mengerti membuka pola dan berkutat lebih dan fokus ke Indonesia saja, itu sudah menjadi visi dan misi saya," tutup Iko. Foto: Ari Saputra/Detikcom.