Tenun luwes mengikuti perubahan zaman, waktu, dan tren. Di tangan empat desainer dan jenama yang digandeng Cita Tenun Indonesia (CTI) untuk perhelatan Jakarta Fashion Week (JFW) 2026, tenun 'disulap' menjadi busana dengan beragam pernyataan gaya tanpa meninggalkan akarnya sebagai wastra yang sarat filosofi.
Karya mereka menghiasi panggung JFW 2026 hari ketiga, Rabu (29/10/2029), dalam presentasi yang bertajuk 'Liminal'. Didirikan pada 28 Agustus 2008, CTI sebagai organisasi nirlaba yang bermisi melestarikan tenun Nusantara, selain aktif terjun ke daerah terpencil, juga rutin berpartisipasi di berbagai kegiatan mode, termasuk JFW. Di setiap kesempatan berbeda, perkumpulan yang digagas oleh Okke Hatta Rajasa ini melibatkan perancang lintas generasi dengan karakter desain yang berbeda-beda.
Sjamsidar Isa, salah satu pengurus CTI yang juga ketua Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI), mengatakan, keterlibatan desainer sangat krusial sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan tenun sehingga dapat mengakomodasi selera pasar yang kian majemuk dan sophisticated.
Di sisi lain, kreativitas perancang dalam mengolah tenun pun semakin terasah. Apalagi bagi desainer muda yang belum pernah sama sekali menggarap wastra tersebut.
"Desainer generasi berikutnya harus mengenal dan mencintai warisan budaya kita sendiri. Oleh karena itu, kami selalu berkolaborasi dengan desainer yang datang dari berbagai latar belakang berbeda," kata Ibu Tjami, demikian sapaan akrabnya.
Untuk JFW 2026, CTI menggandeng Dery Rizkianto (pendiri label The Rizkianto), Andandika Surasetja (Moral), Danny Satriadi, dan Wilsen Willim. Tenun yang diolah berbeda dari satu desainer ke desainer lainnya, membuktikan keragamannya yang
1. Koleksi 'Casa' persembahan The Rizkianto
Sebagai pembuka, The Rizkianto menghadirkan koleksi bertajuk "Casa". Dery yang berbasis di Milan, Italia, memaknai koleksi ini sebagai kembalinya dia ke akar budaya Indonesia dengan sentuhan estetika know-how ala Milano. Koleksi dengan siluet yang menonjolkan lekuk tubuh ini berupaya menyatukan keindahan Tenun Garut dengan teknik adibusana Eropa, menampilkan 12 tampilan bernuansa monokrom yang elegan.
Dery berinovasi dengan menghadirkan motif polkadot kontemporer serta penggunaan benang metalik berwarna champagne gold, terobosan pertama dalam sejarah Tenun Garut-yang disulam tangan oleh perajin binaan CTI. "Saya terjun langsung ke Garut dan ikut dalam proses pembuatan motif baru tersebut bersama para perajin," ungkap Dery.
2. Koleksi 'Tempo' karya Moral
Andandika menafsir ulang Tenun Lombok dalam semangat urban dan eksperimental. Koleksi 13 tampilan ini menggambarkan pemberontakan ala punk terhadap pakem tradisi dengan memadukan tenun, denim, logam, serta kulit dalam konstruksi asimetris dan organic layering.
Melalui kolaborasi dengan CTI, MORAL menegaskan bahwa wastra bukan sekadar artefak masa lalu, melainkan medium hidup yang terus berevolusi dan beresonansi dengan generasi muda kota besar. "Jujur ini tantangan buat Moral dan kami sempat ragu dalam mengolah tenun ini karena takut merusak keindahan motifnya. Namun setelah mendapat masukan dari Ibu Tjami dan tim CTI, kami lebih percaya diri untuk mengolahnya," kata Andandika yang baru pertama kali menggunakan tenun dari Nusa Tenggara Barat itu.
3. Koleksi 'Heavenly Creatures' dari Danny Satriadi
Danny Satriadi mempersembahkan "Heavenly Creatures", koleksi yang menggabungkan Tenun Songket Sambas dengan filosofi budaya Tionghoa. Terdiri dari 12 tampilan, busana ini terinspirasi oleh dua belas shio sebagai simbol harmoni kosmik antara manusia dan alam.
Melalui teknik draping, embroidery, dan beading, Danny menampilkan kemegahan dan spiritualitas wastra dengan sentuhan modern. Kolaborasinya bersama CTI dan maestro aksesori Rinaldy Yunardi memperkuat pesan bahwa tenun dapat menjadi bahasa universal dalam mode global tanpa kehilangan akar budaya.
4. Koleksi Wilsen Willim
Wilsen Willim menutup peragaan dengan koleksi yang mengangkat keindaha Tenun Putussibau khas Suku Iban, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Koleksi ini merupakan bagian dari program Aram Bekelala Tenun Iban yang digagas Yayasan Kawan Lama dan CTI untuk memberdayakan perempuan penenun lokal.
Wilsen menghadirkan 12 tampilan formal modern dengan teknik cording bergaya military regal serta ornamen tribal nan rustic. Lewat karyanya, ia menegaskan pesan menjaga tradisi sambil mengemasnya dalam desain kontemporer yang berani dan relevan.
Simak Video "Bakal Debut di JFW, Tobatenun Tampilkan Fashion Tenun Tradisional-Kontemporer"
(dtg/dtg)