Batik, sebagai warisan budaya Indonesia, tidak hanya memiliki nilai estetika tinggi, tetapi juga kaya akan makna dan sejarah. Dalam era digital saat ini, teknologi dan media sosial cukup berperan penting dalam melestarikan dan mempromosikan seni batik.
Media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok telah menjadi alat yang efektif untuk mempromosikan batik. Pengrajin dan desainer batik dapat memamerkan karya mereka kepada audiens yang lebih luas.
Dengan foto dan video yang menarik, mereka dapat menjangkau konsumen global, sekaligus meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap batik. Kampanye daring yang melibatkan influencer juga semakin populer, memperkenalkan batik kepada generasi muda dan masyarakat internasional.
Brand Manager Nona Rara Batik Yunita Stefani pun mengamini bahwa peran media sosial sangat besar dalam mempopulerkan batik, khususnya di kalangan anak muda. Bahkan menurutnya brand Nona Rara Batik yang berdiri sejak 2011 silam, besar karena media sosial.
"Nona Rara jadi salah satu brand yang social media-nya besar banget pengaruhnya. Ketika ada launching koleksi baru, selain di-support e-commerce kita juga promosi di social media," ujar Yunita, saat ditemui di Konferensi Pers dan Fashion Workshop: 'Hari Batik Nasional 2024, Tokopedia dan ShopTokopedia Bicara Tren Batik' yang digelar di Ciputra World 2, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (2/10/2024).
Para pelanggan Nona Rara Batik tidak hanya menganggap social media sebagai ajang promosi, tapi juga referensi koleksi yang akan hadir.
"Mereka memperlakukan social media Nona Rara seperti semacam katalog. Social media kan dulu cuma jadi alat untuk komunikasi antar teman. Tapi sekarang bisa untuk spreading awareness. Orang jadi aware, lalu dia tahu oh ini tuh batik, jadinya mau beli," jelasnya.
Media sosial juga menjadi salah satu media promosi utama bagi brand batik Oemah Etnik, atau yang kini lebih dikenal dengan OE. Strategi yang dia lakukan adalah melakukan pemotretan produk dan model dengan konsep seestetika mungkin.
"Dari awal OE berdiri sudah menyasar segmen anak muda dan untuk mengedukasi anak muda tentang batik, bahwa batik bisa dipakai sehari-hari dengan gaya casual. Makanya kami bikin anak muda tertarik dari visualnya. Campaign dibuat seindah mungkin dan ternyata mereka tertarik, baru mau pakai batik," tutur Founder dan CEO OE Rizki Triana.
Setelah sosialisasi batik di kalangan muda telah dimudahkan lewat media sosial dan digitalisasi lewat e-commerce, muncul tantangan baru, yakni mengenalkan batik yang benar-benar otentik. Belum banyak masyarakat yang tahu bahwa untuk disebut sebagai batik, harus melalui proses membuat motif menggunakan canting atau cap dengan malam (lilin panas) di atas kain.
"Proses membuatnya adalah menggunakan malam atau lilin panas, kemudian dengan canting atau cap tembaga, lalu dicelup (pewarnaan) itu yang disebut batik. Kalau tidak pakai malam itu adalah tekstil yang bermotif batik," terang Pemerhati dan Motivator Batik Indra Tjahjani.
Apa yang harus dilakukan supaya orang-orang tahu batik yang sebenarnya, ketika produk batik dijual di e-commerce? Hal itu harus datang dari para pelaku industri itu sendiri, dalam hal ini seller.
"Harapan saya pelaku usaha dengan jujur mengatakan apakah produknya batik tulis, batik cap, atau kain motif batik," tambahnya.
Tokopedia sebagai marketplace dengan jangkauan yang luas juga memanfaatkan digitalisasi untuk membantu mempromosikan dan melestarikan batik. Salah satunya dengan menggandeng para penjual batik di pasar tradisional seperti Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan Beringharjo di Yogyakarta.
"Kami merangkul teman-teman di pasar tradisional untuk bisa menikmati era gigital ini. Ada ratusan pedagang fashion khususnya batik yang kami ikutsertakan untuk pelatihan dan menjual produknya secara digital," ujar Desey Muharlina Bungsu, Fashion Apparel & Campaign Senior Director Tokopedia and TikTok E-Commerce.
Simak Video "Video: Seberapa Kenal Kamu dengan Batik di Indonesia?"
(hst/hst)