Akhir-akhir ini, istilah cancel culture sering dilontarkan di media sosial. Label "cancelled" pun kerap diberikan kepada artis atau figur publik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Tak hanya orang, merek pun bisa diberi label cancelled.
Lantas, apa itu cancel culture? Apakah cancel culture lebih banyak membawa dampak positif atau negatif? Simak pembahasannya di artikel berikut.
Apa Itu Cancel Culture?
Kamus Merriam-Webster mendefinisikan cancel culture sebagai aksi meng-cancel secara beramai-ramai untuk menunjukkan rasa tidak setuju dan memberikan tekanan sosial. Sementara cancel di sini maksudnya menarik dukungan terhadap seseorang atau sesuatu secara publik, khususnya di media sosial.
Herve Saint-Louis, asisten profesor media berkembang di University of Quebec at Chicoutimi, menjelaskan bahwa aksi cancel diarahkan pada individu yang bertindak melawan kebiasaan dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Kemunculan Cancel Culture
Dikutip dari Vox, kemunculan istilah cancel salah satunya berasal dari film New Jack City (1991). Dalam sebuah adegan di mana seorang pria memutuskan hubungan dengan pacarnya, ia menggunakan kata "cancel". Jadi, istilah cancel awalnya berarti menghapus seseorang dari kehidupan kita.
Istilah ini kemudian menjadi populer di tahun 2014, ketika salah satu aktor reality show Love and Hip-Hop: New York mengatakan "You're canceled" kepada pacarnya saat mereka bertengkar.
Istilah cancel pun menjadi populer di Twitter dan digunakan sebagai reaksi atas suatu tindakan yang tidak kita setujui. Istilah ini bisa digunakan dalam konteks serius maupun bercanda. Awalnya istilah cancel digunakan di kalangan teman atau kenalan, tetapi kemudian berevolusi menjadi respon terhadap selebriti atau merek.
Cancel Culture di Kalangan Figur Publik dan Merek Terkenal
Cancel culture kerap ditargetkan pada figur publik dan merek tertentu. Contohnya, fenomena cancel culture sempat terjadi atas J. K. Rowling, penulis serial Harry Potter. Pandangannya yang kontroversial membuatnya di-cancel oleh netizen. Netizen pun ramai-ramai menyerukan untuk berhenti mendukung J. K. Rowling dan memboikot produk Harry Potter, mulai dari buku hingga adaptasi filmnya.
Merek terkenal Balenciaga pun pernah menjadi target cancel culture. Mengutip The Cut, pada November 2022, Balenciaga merilis photoshoot yang menampilkan model anak membawa boneka yang berpakaian vulgar. Alhasil, Balenciaga dan creative directornya dihujani kecaman dari netizen dan bahkan selebriti seperti Julia Fox dan Kim Kardashian.
Dua Sisi di Balik Cancel Culture
Jadi, apakah cancel culture lebih banyak membawa dampak positif atau negatif? Mengutip artikel yang diterbitkan di Megashift Fisipol UGM, cancel culture bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda.
Dari sisi positif, cancel culture mampu mengungkapkan suara-suara minoritas yang kerap tidak diacuhkan. Melalui platform media sosial seperti Twitter dan Instagram, seruan cancel melalui hashtag mampu memobilisasi gerakan aktivisme digital.
Sementara dari sisi negatif, ada bahaya di balik cancel culture. Cancel culture adalah tentang kontrol naratif. Siapa yang mampu membentuk atau memengaruhi wacana memiliki kemampuan untuk mengarahkan publik secara besar-besaran.
Hal ini mampu merusak citra target cancel culture dan bisa seolah-olah membungkam suara mereka untuk membela diri, yang seharusnya merupakan hak setiap individu.
Itu dia pembahasan mengenai cancel culture. Sebagai pengguna media sosial yang bijak, mari mengamati dan mempertimbangkan aksi cancel dengan kepala dingin sebelum turut berpartisipasi dalam gerakan cancel culture.
Simak Video "Video K-Talk: Kim Sae Ron dan Kultur Penghakiman Terhadap Selebritas di Korsel"
(fds/fds)